Rumah ini punya dua teras.
Tidak sejajar letaknya karena yang satu menjorok ke belakang dan lebih sebagai
ruang keluarga. Rumah ini terletak di tengah-tengah rumah para tetangga. Sebenarnya
tidak ada jalan keluar kecuali tanah sempit yang katanya ada atas belas kasih
seorang warga. Tanah sempit macam celah itu kini diberi pagar besi dan
digembok. Padahal rumah berpagar saja aku tidak suka. Apalagi ini, membuat kami
seperti tahanan.
Teras yang kumaksud,
yang menjorok ke belakang, sudah lama tidak digunakan. Pintunya sering
tertutup. Tapi untuk apa dibuka. Malas. Seperti sore ini. Aku duduk di sana
dengan malas hanya karena ingin melihat sore.
Aku tidak salah. Ini
memang sore. Terdengar suara khas dari bangunan di sebelahku. Bangunan yang nyenggol rumah dengan sengaja yang
kemarin jadi geger. Itulah alasan mengapa teras ini tidak difungsikan lagi.
Pesing bercampur bau sabun yang keluar dari ventilasi bangunan itu menggelitik
bulu hidungku. Lalu suara-suara itu. Mungkin yang di dalam sedang berhajat. Aku
mendengus kesal.
Begitulah. Tapi aku
harus melihat sore. Sore yang jingga dan hangat. Untuk sekarang aku memilih
kutipan dari puisi Saib e Tabrizi. Siapa
pun takkan bisa menghitung bulan yang berpendar di atas atap, ataupun seribu
mentari surga yang bersembunyi di balik dinding. Banyak keindahan dan
kenikmatan yang luput dari perhatian dan luput kita syukuri. Seperti sekarang,
aku menganggap keindahan senja hanya ingatan yang pura-pura pernah aku nikmati
setelah sekarang tiada.
Aku duduk di teras
menghadap dua tanaman kecil dan sebuah pohon rambutan tanpa buah. Dulu ada
pohon mangga besar yang pastinya sekarang musim berbuah jika masih hidup. Pohon
itu ditebang. Lagi-lagi akibat geger beberapa waktu lalu yang tidak perlu aku
ceritakan. Panjang.
Pasti ini yang dimaksud
senja. Di mana matahari terbenam aku tidak bisa melihat karena di depanku ada
rumah, di samping kiri dan kanan pun demikian. Rumah ini menghadap ke timur.
Berarti sekarang aku sedang membelakangi matahari. Tapi aku tahu, ini senja. Karena
sebelumnya aku melihat matahari terang tapi tidak terik dan berwarna kuning
kemerahan melalui jendela rumah yang menghadap ke barat.
Langit di atasku memang
tidak seterang tadi siang. Bahkan makin gelap saja bila aku perhatikan benar.
Warnanya rata seperti tidak ada awan yang rendah. Ada yang berbeda dari langit
sebelah timur. Entahlah. Ada warna oranye yang menyembul dari bagian yang lebih
rendah. Aku tidak tahu karena tertutup tembok rumah di depanku. Yang pasti,
cahaya oranye itu makin lama makin surut tenggelam hingga padam seiring makin
gelapnya langit.
Bau pesing masih
menguap. Aku berusaha untuk tidak menghiraukannya dengan mencari bau-bau yang
lain. Tapi memang tidak ada bau lain. Biarlah. Aku bisa menghirup bau tawar
dari udara yang juga menghangat.
Ada sorot yang
sepertinya dari matahari di belakangku. Cahaya kekuningan yang tampak berkilauan
di permukaan daun. Lama aku mengamati, daun-daun itu memang tidak ada yang
bergoyang. Berarti tidak ada angin.
Waktu sudah hampir
magrib. Sekarang, matahari mungkin hampir atau sedang berputar untuk muncul di
belahan dunia lain. Dan langit di atasku makin gelap. Suara puji-pujian dari
musala sayup-sayup terdengar seiring hembusan udara yang agak dingin. Suara
serangga pun ikut ambil bagian di senja ini. Dari langit sebelah timur ada
sekawanan burung berwarna hitam yang terbang zig-zag. Unik bagiku. Mereka
tampak ada dua kelompok besar yang terbang berlawanan arah. Tapi mereka punya
gaya yang sama. Terbang zig-zag ke kiri dan ke kanan, dan lama-lama maju dari
arah timur hingga hilang ke barat dengan sebelumnya lewat di langit di atas
kepalaku.
Kemudian semuanya
tampak gelap. Aku harus segera masuk karena pemandangan di luar sudah berubah
menakutkan bagiku.
Depok, November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar