Rabu, 05 September 2012

Senja di Beranda


Rumah ini punya dua teras. Tidak sejajar letaknya karena yang satu menjorok ke belakang dan lebih sebagai ruang keluarga. Rumah ini terletak di tengah-tengah rumah para tetangga. Sebenarnya tidak ada jalan keluar kecuali tanah sempit yang katanya ada atas belas kasih seorang warga. Tanah sempit macam celah itu kini diberi pagar besi dan digembok. Padahal rumah berpagar saja aku tidak suka. Apalagi ini, membuat kami seperti tahanan.

Teras yang kumaksud, yang menjorok ke belakang, sudah lama tidak digunakan. Pintunya sering tertutup. Tapi untuk apa dibuka. Malas. Seperti sore ini. Aku duduk di sana dengan malas hanya karena ingin melihat sore.
Aku tidak salah. Ini memang sore. Terdengar suara khas dari bangunan di sebelahku. Bangunan yang nyenggol rumah dengan sengaja yang kemarin jadi geger. Itulah alasan mengapa teras ini tidak difungsikan lagi. Pesing bercampur bau sabun yang keluar dari ventilasi bangunan itu menggelitik bulu hidungku. Lalu suara-suara itu. Mungkin yang di dalam sedang berhajat. Aku mendengus kesal.
Begitulah. Tapi aku harus melihat sore. Sore yang jingga dan hangat. Untuk sekarang aku memilih kutipan dari puisi Saib e Tabrizi. Siapa pun takkan bisa menghitung bulan yang berpendar di atas atap, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dinding. Banyak keindahan dan kenikmatan yang luput dari perhatian dan luput kita syukuri. Seperti sekarang, aku menganggap keindahan senja hanya ingatan yang pura-pura pernah aku nikmati setelah sekarang tiada.
Aku duduk di teras menghadap dua tanaman kecil dan sebuah pohon rambutan tanpa buah. Dulu ada pohon mangga besar yang pastinya sekarang musim berbuah jika masih hidup. Pohon itu ditebang. Lagi-lagi akibat geger beberapa waktu lalu yang tidak perlu aku ceritakan. Panjang.
Pasti ini yang dimaksud senja. Di mana matahari terbenam aku tidak bisa melihat karena di depanku ada rumah, di samping kiri dan kanan pun demikian. Rumah ini menghadap ke timur. Berarti sekarang aku sedang membelakangi matahari. Tapi aku tahu, ini senja. Karena sebelumnya aku melihat matahari terang tapi tidak terik dan berwarna kuning kemerahan melalui jendela rumah yang menghadap ke barat.
Langit di atasku memang tidak seterang tadi siang. Bahkan makin gelap saja bila aku perhatikan benar. Warnanya rata seperti tidak ada awan yang rendah. Ada yang berbeda dari langit sebelah timur. Entahlah. Ada warna oranye yang menyembul dari bagian yang lebih rendah. Aku tidak tahu karena tertutup tembok rumah di depanku. Yang pasti, cahaya oranye itu makin lama makin surut tenggelam hingga padam seiring makin gelapnya langit.
Bau pesing masih menguap. Aku berusaha untuk tidak menghiraukannya dengan mencari bau-bau yang lain. Tapi memang tidak ada bau lain. Biarlah. Aku bisa menghirup bau tawar dari udara yang juga menghangat.
Ada sorot yang sepertinya dari matahari di belakangku. Cahaya kekuningan yang tampak berkilauan di permukaan daun. Lama aku mengamati, daun-daun itu memang tidak ada yang bergoyang. Berarti tidak ada angin.
Waktu sudah hampir magrib. Sekarang, matahari mungkin hampir atau sedang berputar untuk muncul di belahan dunia lain. Dan langit di atasku makin gelap. Suara puji-pujian dari musala sayup-sayup terdengar seiring hembusan udara yang agak dingin. Suara serangga pun ikut ambil bagian di senja ini. Dari langit sebelah timur ada sekawanan burung berwarna hitam yang terbang zig-zag. Unik bagiku. Mereka tampak ada dua kelompok besar yang terbang berlawanan arah. Tapi mereka punya gaya yang sama. Terbang zig-zag ke kiri dan ke kanan, dan lama-lama maju dari arah timur hingga hilang ke barat dengan sebelumnya lewat di langit di atas kepalaku.
Kemudian semuanya tampak gelap. Aku harus segera masuk karena pemandangan di luar sudah berubah menakutkan bagiku.

Depok, November 2010

Tidak ada komentar: