Minggu, 16 Juni 2013

Tidak Salah !



Kau sudah menolakku. Dulu. Saat itu, sambil tertawa kubilang aku suka padamu. Aku membuatnya seolah-olah candaan. Lalu, kau menyuruhku untuk menyukaimu selamanya. Kita tertawa. Ah. Tidakkah kau merasa aku sangat serius saat itu? Tidakkah kau sadar selorohmu itu adalah perintah bagiku? Sesaat kemudian, kau bilang, "kita teman". Kau menolakku. Iya. Aku merasa kau menolakku.


Jumat, 14 Juni 2013

Tentang Skripsi #1


Hei!
Skripsi saya sudah selesai. Sudah berminggu-minggu yang lalu. Bukan sombong. Saya menyelesaikannya cepat-cepat karena ingin segera DIBACA sama dosen! Biar cepat dapat revisi!
Huh! Harapan itu pupus. Sampai hari Rabu pagi kemarin saya masih berpikir bahwa dosen pembimbing saya akan banyak memberi coretan revisian dan memberi banyak-banyak masukan. Skripsi saya akan KEREN!

Awrrr...tidak.

Papah (pak dosen) hanya bilang skripsi saya sudah bagus! Koreksiannya yeyeyelalalauuu, gitu deh, tentang salah tik, fotokopian data burem, lalalili gitu. Saya dibilang bikin malu gara-gara salah tulis tanda yang seharusnya titik dua (:), tapi saya tulis titik (.). Yaelah bapaaaakkkkk...pengen teriak saya. Konten, Pak, konten saya bagaimana? "Bagus. Cukup buat saya."

Saya senang? Hah. Saya malah menangis gegulingan. Lucu, ya. Iya, betul, saya menangis. Lubang menganga di skripsi saya terlihat begitu nyata di mata saya. Saya tak tahu bagaimana menutupnya. Dan, papah bilang bagus. Bagus? Bagus? Owh.

Iri dengki saya menjadi-jadi kala teman pulang dengan skripsi penuh coretan, penuh masukan, lama sekali bimbingan yang saya dengar diselingi pujian. Oh. Saya? Saya? Bagus. Sudah bagus.

Huft. Saya belum puas. Iya, saya belum puas. Mungkin ini sudah risiko saya mengambil teori yang memang belum diajarkan. Saya belum menguasai betul. Dosen juga sudah tahu, lalu membiarkan saya riang gembira bermain-main dengan mainan baru itu. Huft.

Saya akan harus lanjut S2. Harus. Kenapa? Saya ingin mengulang dari awal. Belajar semuanya dari awal. Ya, saya berjanji untuk sabar--sabar dalam memperdalam ilmu.

Kamis, 13 Juni 2013

Hukum Kekekalan Energi #1

Kemarin, ada teman yang bertanya tentang terjemahan yang bagus dari buku yang dibacanya.
"Matter is indestructibel"--kira-kira artinya 'materi tidak dapat dimusnahkan'.

Kalimat itu mungkin merujuk pada hukum kekekalan energi.
"Energi itu kekal. Energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan. Energi hanya dapat diubah dari bentuk satu ke bentuk lain."

Hafal benar, ya, aku. Dulu, fisika teori itu kegemaranku, tapi aku tak suka matematikanya. Hahaha...

Aku suka mengaitkan segala konsep yang pernah aku pelajari. Dan, hukum kekekalan energi adalah salah satu hukum fisika yang bisa kukatakan menjadi prinsip hidup yang kupegang.

Energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan. Aku tak bisa tiba-tiba memiliki energi untuk mencintai sesuatu--sebagaimana aku juga tak bisa tiba-tiba memusnahkan rasa cinta pada sesuatu. Aku tak bisa tiba-tiba memiliki energi untuk membenci sesuatu--sebagaimana aku juga tak bisa tiba-tiba memusnahkan energi untuk membenci sesuatu.

Tapi, aku bisa mengubahnya.

IRI: Pelajaran dari Film Korea

Kemarin, aku menonton film Korea, film horor. Ah, tidak terlalu seram, malahan sedikit melodrama. Kisah sepasang sahabat...ah...ini membuatku mengenang sahabat-sahabatku. Ceritanya tentang persahabatan yang retak bahkan hancur gara-gara iri dengki.

Tragis. Sepasang sahabat itu sama-sama suka balet. Yang satu lebih berbakat. Yang satunya, iya, dia iri, sangat iri. Karena irinya, diam-diam ia mendoakan yang buruk untuk sahabatnya, diam-diam ia menaruh pecahan kaca dalam sepatu balet sahabatnya. Sahabatnya itu tahu tentang pecahan kaca itu, tapi ia diam saja. Membiarkan kakinya tertusuk kaca saat menari. Membiarkan tusukan kaca itu dari sahabatnya. Apa yang ia pikirkan, mungkin ia ingin merasakan rasa sakit sahabatnya dari pecahan kaca itu.

Padahal, ia selalu ingin menjadi sepasang balerina dengan sahabatnya. Bakat dan usahanya yang menjadikannya di puncak serasa tak lengkap tanpa sahabatnya itu.

Tapi, apa boleh buat. Mungkinkah ia akan berperilaku sama jika ia ada di posisi sahabatnya?
Huh. Betapa iri itu seburuk-buruknya sifat.

Suatu hari, aku bertengkar dengan sahabatku. Awalnya, kupikir tak ada masalah. Kita makan bersama seperti biasa. Bercerita macam-macam seperti biasa. Lalu tiba-tiba, ia menghabiskan minumannya dengan kasar, meletakkan gelas dengan kasar hingga suara benturannya tak akan pernah aku lupakan. Terlebih kata-katanya kemudian. "Aku iri sama kamu!", lantang sekali kata-katanya. Oh Tuhan, apa yang membuatmu seperti ini? Kau terluka. Aku juga terluka.

Tapi, iri itu wajar. Aku pernah. Tapi, untuk apa? Lama-lama aku lelah. Lebih baik berfokus pada keunggulan diri sendiri dan berguru pada orang yang aku pandang punya kelebihan. Iri pada orang yang punya kelebihan lalu mendoakan yang buruk itu rugi saja. Lebih baik belajar darinya bagaimana ia mendapatkan itu semua, bekerja sama, dan bantu ia juga--lalu ia akan membantumu atau Tuhan yang akan membantumu.



Temanku...

Temanku, betapa aku sama sekali tak ingin meninggalkanmu. Sedikitpun aku tak ingin melupakanmu. Sungguh aku merasa berdosa jika sejenak melupakanmu, sejenak membencimu, sejenak tak ingin kau datangi...

Temanku, kau terkadang membuatku terharu,
sakit yang kau derita itu...
Aku berjanji, aku selalu siap mendengar ceritamu.

Temanku,
jika kau mau, mari kita bersulang utk air mata dalam gelasmu dan gelasku.