Kamis, 27 September 2012

Puisi Cinta

Petang tadi ada acara baca puisi di kampus. Kukira puisi-puisi yang rada "kece" gitu. Eh, ternyata puisi-puisi galau tentang percintaan ala mahasiswa. Hehehe...tapi, bagus juga, kok, aku jadi terbawa galau. Nulis puisi juga, deh. Jangan ketawa, ya.

Cinta.

Aku manusia
bisa jatuh cinta
aku tidak bisa mengiranya
karena telah kupendam dalam hitungan warsa

Sudah takterkira takterhingga
kuibaratkan saja seperti serigala
cintaku terlalu besar karena terlampau lama
jadi sebuas dan seganas serigala

Serigala itu terikat tali
ujungnya di tanganmu, ujung lain di tanganku
diam saja, jangan bergerak

Kita tidak akan berdekatan
tapi tidak boleh berjauhan
Jika kita terlampau berjauhan
tali akan menjerat serigala mengantarnya ke alam baka
serigala mati, cintaku mati

Kita tidak akan berdekatan
tapi tidak boleh berjauhan
Jika kita berdekatan, tali akan kendur
serigala akan memangsa aku, kau, dan mereka

Kita tidak berdekatan
tapi tidak boleh berjauhan
atau akan ada yang terluka

Sabtu, 08 September 2012

Sastra Lisan, Tradisi Lisan, dan Folklore

Semester ini, aku ikut kuliah Sastra Lisan? Apa itu? Istilah itu sebenarnya juga tidak terlalu tepat karena mengandung pengertian yang kontradiktif, tetapi istilah ini sudah terlanjur digunakan secara luas. "Sastra" dan "lisan", "lisan" yang "disastrakan", "sastra" yang "dilisankan" atau "sastra" yang disebarkan secara "lisan"? Sebenarnya, aku juga belum mengerti benar. Baru juga kuliah 2 jam, hehehe...

Bagaimana dengan tradisi lisan?
Sepakat, ya, kalau tidak semua bahasa memiliki sistem aksara? Bahkan, sampai sekarang, lho, masih ada bahasa yang tidak memiliki aksara atau aksaranya mengadaptasi bahasa lain, contohnya bahasa Indonesia, hehe...sebenarnya, dulu bahasa Indonesia hampir memiliki aksara sendiri, tapi...ah...nanti saja ceritanya...
Nah, untuk hakikatnya bahasa itu sistem bunyi, jadi bahasa memang tidak harus beraksara. Sekolompok masyarakat pasti memiliki budaya. Budaya meliputi banyak hal. Segala ilmu dan kesenian dari suatu masyarakat yang belum mengenal tulisan tentu akan diwariskan secara lisan. Inilah tradisi lisan. Namun, tradisi lisan belum tentu berhenti ketika sistem aksara sudah ada, contohnya masih banyak pelaku-pelaku seni yang belajar secara otodidak bukan dari buku (sistem aksara sudah ada, lho).

Di dalam tradisi lisan, ada sastra lisan. Sudah kubilang, aku belum mengerti benar. Sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan. Ini karena tradisi lisan berwujud banyak hal, misalnya ilmu pengobatan, ilmu membaca alam, dan ilmu lain menurut kearifan lokal masing-masing budaya. Menurut pemahamanku, sastra adalah salah satu produk budaya yang berupa cerita. Cerita bisa diwujudkan dalam banyak bentuk, seperti lagu, pantun, syair, puisi, dan prosa. Jadi, sastra lisan adalah bentuk-bentuk sastra yang disebarkan atau dilakukan secara lisan. Semoga kesimpulanku ini benar, haha...

Nah, ada lagi istilah foklore. Baunya bahasa Inggris, nih. Folklor dari kata "folk" dan "lore". "Folk" berarti manusia kolektif dan "lore"  berarti tradisi. Jadi, folklor adalah...jeng jeng jeng...pusing, haha... Manusia yang kolektif secara bersama-sama menghasilkan kebudayaan. Berbagai produk budaya itu diwariskan turun-temurun. Produk budaya ada yang berupa lisan, tulisan, dan berupa benda. Oleh karena itu, folklor tidak sama dengan tradisi lisan.

Nah, jelas bahwa folklor bukan bagian dari tradisi lisan, tapi apakah tradisi lisan bagian dari folklor? Bukan juga, tradisi lisan dan folklor berbeda meski mungkin ada bagian yang tumpang tindih. Namun, yang aku pahami adalah folklor menekankan pada manusia yang kolektif, yakni kita harus melihat suatu produk budaya yang diwariskan turun-temurun sebagai hasil dari olah pemikiran manusia. Sedangkan, tradisi lisan lebih menekankan pada budaya yang diwariskan dan dikomunikasikan secara lisan.

Kau bingung? Aku juga, haha...tulisan ini tidak ilmiah, kau boleh percaya atau tidak. Yang jelas aku menulis jujur sesuai yang kupahami. Aku belum membaca buku, hanya artikel koran yang disalin di blog, ini http://cabiklunik.blogspot.com/2010/11/merevitalisasi-atau-membunuh-tradisi.html.

Tidak perlu kutipan atau daftar pustaka, ya? Kita bergosip saja. Lagipula kadang aku ingin kembali ke masa lalu saat ilmu itu milik bersama, tidak dikomersilkan, dan tidak perlu klaim hak cipta atau hak kekayaan intelektual atau klaim-klaim yang lain.

Jumat, 07 September 2012

Proyek di Pasar Ikan

Hai, kau. Tengah malam aku terbangun. Sudah biasa aku seperti ini, tidur setelah magrib atau isya' lalu terbangun tengah malam. Biasanya susah tidur lagi. Apalagi kalau sedang mengkhawatirkan sesuatu. Aku bercerita padamu saja.

Sekarang ini aku sedang mengerjakan projek di Pasar Ikan di Jakarta Utara. Ini untuk kompetisi bisnis sosial yang diadakan oleh sebuah perusahaan. Tim kami terdiri dari 5 orang. Kami akan membuat sebuah kampung wisata di daerah ini.

Sebenarnya, kami punya blog yang menceritakan kegiatan-kegiatan kami, di sini http://meltingpotproject.tumblr.com/. Berkunjunglah jika sempat. Hehehe...

Di Jakarta, ada agen-agen yang menyalurkan wisatawan asing untuk berjalan-jalan di daerah-daerah kumuh dan miskin di Jakarta. Apa kau tahu hal ini? Apa kau juga merasa ini menyedihkan? Ya, kalau boleh agak kasar aku berkata, orang asing itu dibawa berkeliling untuk semacam "wisata kemiskinan".

Agen-agen seperti itu sudah lama ada dan belum ada perubahan di lokasi-lokasi miskin itu. Aku dan teman-teman juga dibantu dosen pembimbing membuat proyek di sana dengan tujuan dapat membantu mereka untuk mendapat penghasilan tambahan.

Kami akan bekerja sama dengan agen tour itu. Mereka akan memberikan kursus, terutama bahasa Inggris, untuk beberapa warga agar mereka bisa menjadi tour guide. Agen itu juga akan membantu menyalurkan wisatawan ke tempat ini. Eh, lokasi itu berada di antara 12 destinasi wisata pesisir, lho, memang banyak wisatawan asing yang berseliweran di sini.

Selain itu, kami akan membantu warga memperbaiki rumah mereka untuk tempat menginap bagi turis. Kami juga membantu mereka membersihkan pemukiman itu yang penuh sampah dan memperbaiki kebiasaan mereka yang suka buang sampah di laut. O ya, aku belum cerita, masyarakat di sini membangun rumah di atas laut, dekat pelabuhan Sunda Kelapa, dan mereka juga selalu membuang sampah di laut. Mengapa? Tentu karena kemiskinan. Orang-orang itu hanya berpikir hari ini bisa makan tanpa peduli lingkungan.

Begitulah cerita singkatnya. Kapan-kapan aku cerita lagi. Doakan, ya, agar proyek ini berhasil !!! ^_^

Rabu, 05 September 2012

Senja di Beranda


Rumah ini punya dua teras. Tidak sejajar letaknya karena yang satu menjorok ke belakang dan lebih sebagai ruang keluarga. Rumah ini terletak di tengah-tengah rumah para tetangga. Sebenarnya tidak ada jalan keluar kecuali tanah sempit yang katanya ada atas belas kasih seorang warga. Tanah sempit macam celah itu kini diberi pagar besi dan digembok. Padahal rumah berpagar saja aku tidak suka. Apalagi ini, membuat kami seperti tahanan.

Kejutan yang Menyenangkan. Terima Kasih.

Hai, kau, apa kau tahu kalau akhir Agustus lalu aku ulang tahun?

Tidak pernah ada yang merayakan ulang tahunku, bahkan keluargaku sendiri. Memang aku sendiri yang tidak mau, sih. Aku tidak suka menspesialkan hari-hari tertentu. Hari ulang tahun, bagiku adalah pengingat bahwa kesempatanku hidup di dunia berkurang. Aku akan merenungi apa-apa yang sudah aku lakukan, apa yang bermanfaat dan apa yang tidak. Kalau ada yang mendoakan, aku sangat berterima kasih.

Begitulah aku. Kau harus mengerti. Aku juga tidak terlalu peduli dengan ulang tahun orang lain, jarang aku bisa mengingat. Maaf. Tapi, sekarang aku sedikit berubah, lho. Aku jadi suka ikut membuat kejutan untuk teman yang ultah. Sepertinya, memberikan perhatian semacam itu membuat orang bahagia.

Di ultahku tahun ini banyak yang memberikan ucapan selamat dan doa. Aku sangat berterima kasih. Ada juga yang memberikan perhatian lebih yang membuatku terharu. Temanku sebangku waktu SMP mengajakku makan di restorannya...hmmm...gratis, lho, ehehehe... Adikku yang paling kecil membeli bros-bros lucu untukku. Satu lagi, teman sekamarku di kos, dia menaruh kado di atas mejaku saat aku tertidur. Saat bangun, kukira kado itu milik temannya yang tertinggal. Wah, ternyata buat aku. Banyak hal yang membuatku senang, termasuk ucapan-ucapan ulang tahun yang lucu-lucu dari teman-temanku. Walau beberapa di antaranya agak menyebalkan. Hahaha... Tidak apa-apa, aku suka.

Bagaimana denganmu? Aku harap suatu hari kita bisa merayakan ulang tahun bersama.

Jendela Dia

Sampai Dia dewasa, sampai Dia tiada; aku masih diam di sini. Statis tidak bergerak dengan ingatan masa lalu yang jelas. Inilah takdir. Masa lalu memang sudah berlalu. Masa lalu selalu lebih indah jika telah berlalu. Kenangan. Kadang aku bertanya apa orang yang kita kenang mengenang kita pula. Hatiku akan hancur bila mengakui bahwa kenangan sifatnya subjektif. Tidak selalu yang kita kenang adalah kenangan berharga pula bagi orang lain. Tapi memang begitu adanya. Apalagi bila menyangkut orang yang kita sayangi.
Apalah arti yang tengah aku rasakan? Suatu yang abstrak tapi nyata. Suatu yang kuketahui bahwa ini terkadang berasal dari sensasi yang sengaja dirasa. Cinta? 

Selasa, 04 September 2012

Pesan yang Kekal

Ada pesan yang kekal dalam kata, sebagaimana ada juga pesan yang kekal dalam untaian DNA.

DNA itu terdiri dari untaian protein. Ada namanya, ya? Berantai-rantai di satu sisi lalu protein-protein itu disalin di sisi lain. Begitu seterusnya hingga terpilin banyak. Tidak akan ada kesalahan. Terjadi secara otomatis.

Kecuali terjadi sesuatu, misalnya tubuhmu di sorot sinar beradiasi tinggi hingga mengacaukan pesan-pesan yang dirangkai DNA. Namanya mutasi gen. Mutasi gen tidak berlangsung serentak untuk seluruh umat manusia, kan. Ya. Hanya seorang saja yang DNA-nya bermutasi. Orang ini berketurunan lalu pesan-pesan DNA diwariskan sama persis ke anaknya. Anaknya ke anak anaknya ke anak anaknya anaknya. Begitu terus. Manusia jadi bermacam-macam.

Tetap saja ada pesan yang kekal dalam DNA. Pola mutasinya pun bisa dilacak.

Sama seperti kata. Kau berbahasa. Bahasa yang kaumaksud bahasa, ya, harus dimengerti manusia. Bahasamu dipakai oleh komunitasmu. Kau juga. Tiba-tiba, seseorang begitu ia bangun tidur lidahnya kaku. Parahnya ia ditiru. Ditiru. Dan terus ditiru. Ditambah. Ditambah. Dikurangi. Dikurangi. Ada yang hilang. Ada yang berubah. Bahasa manusia jadi ada macam-macam. Tetap. Ada yang kekal. Pesan-pesan kekal itu bisa dilacak.

Senin, 03 September 2012

Tanggamus, Lampung: Cerita-Cerita tentang Bukit Pertambangan


Kami bertemu dengan orang yang termasuk lama tinggal di pemukiman itu.  Berdasarkan ceritanya, pertambangan emas itu dulunya adalah hutan. Dulu, yang membuka lahan di tempat itu adalah perantau tangguh dari Padang dan Bugis. Orang Jawa sebenarnya mengikuti  jejak mereka. Meski begitu, yang tinggal di sana sekarang banyak dari kalangan orang Jawa. Daerah itu juga termasuk daerah transmigrasi.

Orang-orang pendatang menanam berbagai tanaman, seperti kopi dan kakao. Ada juga cengkeh yang ditanam orang Bugis yang sekarang sudah mulai ditinggalkan. Hutan yang ditanami itu juga termasuk kawasan hutan lindung.

Dulu, sebelum menjadi lokasi tambang, daerah itu menjadi lokasi perusahaan kayu. Karena tidak maju, perusahaan itu gulung tikar. Suatu hari ditemukanlah potensi mineral emas di daerah tersebut. Mulailah observasi dan masuklah para ekspatriat mendirikan perusahaan tambang di sana.

Yup, ada lagi yang ingin kuceritakan. Apa dampak dari adanya perusahaan itu? Limbah? Aku tidak pandai membicarakannya. Setahuku dari sedikit mencuri dengar, perusahaan ini menyedot banyak pekerja. Mengurangi banyak pengangguran, ya? Banyak yang berminat bekerja di sana meskipun pekerjaan ini berbahaya karena mereka harus menambang di goa-goa. Kalau sedang ada gempa dan longsor berbahaya, kan?

Berikut ini adalah pemikiran temanku. Banyak pekerja tambang yang dulunya petani. Bagaimana ini? Mineral emas tidak selamanya ada. Ketika sumber daya itu habis, para pekerja itu harus mencari pekerjaan lain.  Apa mereka bisa kembali menjadi petani? Apakah lahan pertanian yang sudah disulap menjadi pertambangan bisa dikembalikan menjadi area pertanian dan perkebunan yang subur kembali?

Bagaimana kalau menurutmu? Seperti apa pengelolaan potensi tambang yang bijak?

Tanggamus, Lampung: Perjalanan di Bukit Sekitar Tambang

Aku dan kedua temanku menumpang di mobil yang khusus membawa pekerja tambang. Kami turun di Talang Topa, Lampung Barat. Ya, bukan wilayah Tanggamus lagi sebenarnya. Lokasi ini berada sekitar 2 kilometer dari pertambangan.

Perjalanan menuju lokasi ini sangat terjal dan sepi. Agak menakutkan memang. Bayangkan, akses masyarakat di sini menuju lokasi ramai sangat jauh. Pemukiman di sini beberapa di antaranya sudah bagus. Menandakan pemiliknya orang berada. Banyak juga rumah-rumah dari kayu atau bambu bergaya Lampung dan Jawa. Ada kantor polisi dan tempat peribadatan juga. Area sekitar tambang dibagi dalam blok-blok. Entah, ada berapa blok aku tidak tahu. Saat itu, kami turun di blok 4.




 Ya, kami turun sekitar 2 kilometer dari pertambangan. Kami bermaksud berbincang dengan warga di sana, tetapi semua rumah seakan tertutup untuk kami. Karenanya, kami memutuskan berjalan mencari pemukiman lain. Kami berjalan menuruni bukit sekitar 3,5 kilometer hingga menemukan pemukiman lain, yakni blok 10.
Sepanjang perjalanan, banyak hal membuatku kagum. Udaranya sejuk tentu saja. Banyak area perkebunan. Yang banyak adalah kopi dan kakao. Berbeda dengan pekon yang saya tinggali. Pekon yang saya tinggali dihuni oleh orang Lampung asli dan tidak ada pendatang. Ternyata, pemukiman di sini dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku. Ada warga yang mengaku orang Japung, yakni campuran Jawa dan Lampung. Terdengar juga sayup-sayup bahasa Jawa, Sunda, dan Lampung di sini. Di sini, desa tidak disebut pekon, tetapi kalau tidak salah perwatin. Ah, maaf, aku juga lupa.

Tanggamus, Lampung: Perjalanan ke Pemukiman Dekat Pertambangan

Masih tentang pengalamanku di Tanggamus, ya. Cuma 4 hari, tapi aku mencoba memahami di sini.

Di Tanggamus tepatnya masuk wilayah Pekon Gunung Doh, ada perusahaan tambang emas, lhoh. Menurut seorang warga, sebenarnya status wilayah pertambangan ini sempat diperebutkan, yakni masuk Lampung Barat atau Tanggamus. Ya, karena daerah pertambangan ini memang berada di perbatasan. Pertambangan ini akhirnya diakui milik Tanggamus.

Pekon yang aku tinggali berada jauh dari lokasi pertambangan. Untuk mencapainya, butuh sekitar 3 jam dengan kendaraan roda 4 jenis elp. Untuk mencapai lokasi tambang tidaklah mudah.

Hanya pekerja yang memiliki izin masuk lokasi pertambangan. Bisa juga orang-orang tertentu yang berkepentingan diizinkan masuk ke lokasi dan tentu saja dipertanyakan dulu apa kepentingannya. Proses perizinannya sangat ketat. Aku? Aku tidak punya izin untuk memasuki wilayah tambang. Baiklah, tapi aku punya keberuntungan untuk berada sedikit dekat dengan lokasi.

Tidak ada sarana transportasi umum ke sana. Kalau mau kita bisa sewa ojek, tapi bayar 100 ribu rupiah. Gila, ya? Kalau aku, aku tidak akan mau mengeluarkan uang sebesar itu. Hehehe...

Tiap pagi dan sore ada mobil elp yang membawa pekerja tambang pulang pergi ke lokasi. Aku dan kedua temanku meminta diantar oleh mobil ini. Ya, kami menyetop bus dan meminta ikut. Sebenarnya, ini tidak boleh dilakukan karena mobil itu memang khusus untuk pekerja. Akan tetapi, banyak juga warga yang bermukim di sekitar lokasi tambang menggunakan transportasi ini untuk perjalanan turun bukit atau kembali ke rumahnya yang aksesnya sulit dijangkau itu.

Kami diizinkan ikut. Ah. Senang sekali. Tapi, tanpa kita ketahui, seseorang di bus itu melapor pada atasannya di perusahaan tambang bahwa ada mahasiswa yang masuk lokasi tambang tanpa izin. Wah, wah, wah, tentu saja kami dapat sedikit masalah mengenai ini. Namun, ada kesalahpahaman juga di sini. Kami tidak pernah masuk lokasi tambang. Kami hanya berkeliling di pemukiman dekat lokasi tambang.

Ada cerita apa saja di sana? Sebentar, akan kuceritakan, simpan untukmu saja ya...

Minggu, 02 September 2012

Tanggamus, Lampung: Tingkat Kriminalitas yang Tinggi

Sebelum cerita, aku perlihatkan foto dulu, ya.
Hei, menurutmu, foto spanduk ini seram, ga sih?

Foto ini kuambil di Kota Agung. Menuju ke Kota Agung, aku naik bus dari Bandar Lampung. Dalam penantian ke tempat tujuan, aku banyak mencuri dengar kisah-kisah kriminalitas dari obrolan para penumpang.

Seram sekali. Di sana, perampokan dan pemalakan adalah hal yang biasa. Pencurian juga biasa. Dan, yang mengerikan, pencuri yang tertangkap sudah biasa dipukuli ramai-ramai. Bahkan, ada yang sampai meninggal.

Lihat saja spanduk itu. Spanduk itu tidak main-main. Tidak juga hanya di satu tempat, tapi aku melihatnya di beberapa tempat. Ke mana, ya, pak polisi? Hmm...tingkat kriminalitas di sini sangat tinggi. Mungkin, pak polisi kewalahan. Sampai ada spanduk mengerikan ini yang mengatasnamakan "masyarakat Kota Agung bersatu" yang menghalalkan main hakim sendiri.

Tukang ojek di sini juga terkenal berbahaya. Tiap ada penumpang turun dari bus akan ada banyak tukang ojek yang mengerubuti, merebut tas penumpang, memaksa kita naik ojek mereka, dan hati-hati bisa-bisa kau dimintai banyak uang di tengah jalan (dipalak). Ketika aku menyebutkan tempat di mana aku turun pada kondektur bus, kondektur mengamatiku dan langsung berkata bahwa aku bukan orang sana dan pasti belum pernah ke sana. Beliau menasihatiku bahwa tempat tujuanku itu sangat rawan kejahatan. Hmmm...baru juga sedikit menginjakkan kaki di seberang pulau Jawa, sudah terlihat hal yang baru.

Pekon/desa yang saya tinggali tidak kalah seram. Pekon ini adalah bagian dari Kecamatan Bandar Negri Semuong. Tiap sore hari, sangat biasa sekali banyak pemuda nongkrong di jembatan. Mereka memelototi pengguna jalan yang lewat. Hati-hati, jangan membalas tatapan mata mereka, bisa-bisa kau dikira menantang. Ujung-ujungnya piil pesenggiri lagi mungkin. Mereka tidak segan-segan memalak orang lewat, meminta uang atau barang. Kalau kau dipalak, lebih baik mengalah dan serahkan apa yang mereka minta karena mereka tidak segan-segan melakukan kekerasan, termasuk membunuh. Wah, seram, ini nasihat dari orang sana.

Tidak tahu mengapa hal ini terjadi. Aku sempat sedikit mencuri dengar, sepertinya mereka lebih mengincar orang-orang yang mereka sebut "pendatang". Hmmm...menarik, bukan?

Jangan bosan, aku masih punya banyak cerita.

Tanggamus, Lampung: Piil Pesenggiri dan Kaca Spion

Hai, apa kabar?

Kali ini, aku ingin cerita tentang Lampung.


Aku sudah cerita, ya, kalau beberapa waktu lalu aku pergi ke Lampung. Aku harus menempuh banyak peristiwa hingga sampai ke tempat ini. Di tempat ini juga aku menemui banyak peristiwa yang tidak akan aku lupakan. Aku hanya 4 hari di sana. Singkat memang, tapi asal kau tahu pengalaman ini membuatku berkenalan dengan banyak hal.

Sampai sekarang aku masih merasa sungguh-sungguh kagum. Kagum dengan Tuhan yang menciptakan manusia hingga beragam. Kagum dengan Indonesia yang punya banyak manusia yang berbeda. Seperti Lampung, cuma sekitar 3 jam menyeberang dari Pelabuhan Merak ke Bakauheni, aku sudah merasakan hal-hal yang sungguh berbeda dari Jawa.

Dari seseorang, aku sudah diberi tahu bahwa orang Lampung agak sulit diteliti. Mengapa? Mereka orang-orang yang keras. Jika kita mendapat hatinya, mereka akan baik. Jika kita menyinggungnya, tamatlah kita, bisa-bisa untuk selamanya. Kupikir ada benarnya. Watak orang Lampung asli yang khas adalah piil pesenggiri, yakni berkaitan dengan harga diri. Hargi diri mereka junjung. Siapapun yang melanggar piil pesenggiri mereka bisa-bisa seumur hidup tidak rukun lagi. Mereka punya semboyan lebih baik hancur daripada malu. Ini aku dengar dari tetua adat di pekon/desa yang aku tinggali.

Ada hal yang membuatku kaget ketika pertama kali tiba. Pikirku  ini berkaitan dengan sifat piil pesenggiri ini. Saat itu, aku dan kelima temanku naik angkutan umum dari Kota Agung menuju Kecamatan Bandar Negri Semuong. Awalnya, angkot kami berjalan mulus saja sampai tiba-tiba angkot diberhentikan dan terjadi pertengkaran yang hebat.

Tentu saja aku tidak terlalu mengerti apa yang mereka bicarakan karena mereka berbicara dengan bahasa Lampung. Namun, dengan bantuan bahasa tubuh aku mengerti apa yang mereka permasalahkan. Angkot itu sepertinya tidak sengaja melanggar sebuah motor ojek hingga spionnya lepas. Pemilik motor tidak terima dan terus mengejar angkot tersebut. Jadi, pelanggaran ini terjadi sebelum aku naik angkot itu.

Adu mulut yang terjadi sangat hebat. Orang-orang itu terlihat garang. Sopir angkot tidak berani keluar angkotnya. Mungkin kalau dia keluar bisa dipukuli. Sopir itu juga entah minta maaf atau tidak, tapi sepertinya tidak. Kedua pihak sama-sama bersikeras.

Aku dan teman-teman hanya berpandangan. Helloooo, berapa, sih, harga spion? Spion itu sebenanrnya juga tidak rusak atau pecah hanya lepas saja dan bisa dipasang kembali. Namun, pertengkaran karenanya sungguh lama, hebat, dan melibatkan banyak orang. Iya, banyak orang di situ, ada kawan-kawan sopir angkot dan ada kawan-kawan tukang ojek.

Tidak mengerti bagaimana penyelesaiannya. Yang kutahu, sopir angkot dibantu teman-temannya berhasil tancap gas meloloskan dari dari amukan tukang ojek. Saat kami angkot kami melaju, kulihat di belakang orang-orang itu masih tampak garang dan berbicara keras yang tidak kuketahui artinya.

Begitulah, Kawan, ini hanya pandangan dari seorang orang luar. Namun, bagiku ini menarik.



 

Sabtu, 01 September 2012

Seorang Anak Kecil

Baiklah. Udahan, ya, cerita tentang dia. Lain kali lagi. Percuma banyak cerita. Hanya mengulang saja.

Ada seorang anak kecil. Aku sangat sayang padanya. Dia putra seorang tetangga. Dia tampan. Jika kau memeluknya, bisa kau rasakan tubuhnya mungil, tulang dan dagingnya lemas. Kurasa umurnya sudah 2 tahun lebih, tapi ia belum juga bisa berbicara.

Aku sayang padanya. Entah. Tiap pulang ke rumah rasanya aku ingin bermain dengannya saja. Tiba-tiba, tadi malam aku merindukannya. Bagaimana kabarnya, ya?

Dia tumbuh dari janin yang mengagumkan. Suatu hari ibunya menderita stroke. Di saat yang bersamaan, ada janin yang siap berkembang di rahimnya. Tentu saja, ada 2 dokter yang berebutan untuk menyelamatkan, dokter syaraf dan dokter kandungan. Dokter syaraf menyelamatkan ibu. Dokter kandungan menyelamatkan janin. Oh, tapi, obat untuk ibu berbahaya untuk janin. Namun, jika ibu tidak diberi obat, janin selamat, tapi ibu terancam. Bagaimana?

Begitulah, si ibu akhirnya selamat dengan obat-obatan. Tidak ada yang menyangka janinnya juga selamat. Namun, bayi tampan yang lahir tanpa cacat itu mulai terlihat terhambat. Lama ia baru bisa berjalan dan sampai sekarang belum bisa berbicara. Tidak seperti teman-temannya, tapi dia sehat dan tidak cacat.

Aku suka dengannya. Saat kugendong, dia suka menunjuk-nunjuk apa saja di dekatnya sambil mengerang. Aku tahu. Dia pasti bertanya, "Itu apa?". Lalu, aku akan menyebut nama benda itu dan mempraktekkan bagaimana menggunakannya. Satu benda beralih ke benda lain. Satu kata beralih ke kata lain.

Aku merindukan anak kecil itu. Tatapan matanya itu membuatku merasa mungkin kami punya nasib yang sama.

Sekarang, dia sudah bisa berjalan dan semoga saja sebentar lagi ia berbicara lalu bercerita banyak denganku.

Dia mengingatkan aku pada cita-citaku. Linguistik klinik. Aku ingin berkecimpung di bidang itu, tapi belum tahu bagaimana.

Dia: Yang Pertama

Kau bisa menebak, kan, apa itu "yang pertama"? Aku takut menyebut kata itu. Bagiku sakral, tidak boleh banyak diucap. Banyak diucap hanya jadi pasaran dan tak bernyawa.

Dia yang pertama. Pertama yang bisa membuatku mampu mengenangnya dengan rasa bahagia. Yang mampu membuatku selalu mendoakannya. Aku mungkin gila. Tidak tahu. Yang pasti emosi ini meluap. Seharusnya, bisa kupendam dan kuhilangkan, tapi tak semudah itu.

Dia. Dia. Dia.

Kau tahu, dia pergi lagi ke negri seberang. Terserahlah. Aneh. Dia terlihat sungguh bahagia di sana. Mungkin, di sana tempatnya, bukan di sini. Tapi, tempatku di sini. Apa aku ingin bersamanya? Tidak. Tidak sama sekali. Aku hanya rindu. Rindu dia yang dulu. Aku ingin dengar ceritanya tentang negri seberang. Aku hanya ingin kami menjadi teman yang senantiasa berbagi cerita meski kami tidak sedang bersama-sama. Emosi apa ini? Tidak tahu.

Kami makin tidak bertegur sapa. Kami sempat berbincang. Sedikit sekali. Mungkin, dia sudah membaca. Dan, mungkin, dia tidak menginginkan hal yang sama. Biar saja dia punya pilihan.

Dia: Kami Berpisah (Lagi)

Kami sama-sama lulus sekolah menengah.

Sudah lama aku ingin berada jauh dari orang tua. Aku ingin merantau dan mandiri. Benar saja, aku diterima di sebuah universitas terfavorit di negriku. Sangat jauh dari orang tua. Banyak hal yang harus kuperjuangkan hingga aku bertahan di universitas ini, tapi tidak saatnya aku menceritakannya.

Ya, kami berpisah meski tanpa kata karena kami memang tidak pernah bertegur sapa. Namun, bagiku aku serasa terpisah dari dia. Tidak lagi bisa mencuri pandang atau sekadar mencuri dengar. Aku sedih, tapi aku juga senang. Aku berkata dalam hati, "Semuanya akan berakhir. Rasaku hanya sementara. Tidak lagi perlu berduka."

Aku senang dia kuliah di bidang yang dia sukai. Saat itu, ini terasa lebih menenangkan daripada keberhasilanku diterima di universitas yang kata orang "terbaik" di negri ini. Aku tidak pernah peduli. Aku hanya ingin jauh dari kotaku, terlebih dari dia.

Jangan tanya tentang cita-cita. Dulu, aku ingin jadi dokter. Aku selalu kagum dengan ilmu pengetahuan alam, tentang gunung, tentang laut, tentang langit, tentang angin, tentang batu, tentang binatang, tentang bunga, tentang manusia. Tentang Tuhan? Aku tidak terlalu mempermasalahkan. Aku percaya Tuhan, menyembahnya dengan cara Islam. Itu saja. Aku membaca Tuhan pada alam. Memang, aku tidak kuliah di kedokteran, tapi suatu hari kau akan bisa lihat aku tetap bisa berkecimpung di dunia ini karena aku tidak pernah lupa apa yang aku inginkan. Aku akan menemukan jalan.

Aku suka bahasa. Bahasa itu menyimpan misteri. Bahasa menyimpan segalanya. Dan, bahasalah yang seharusnya mampu mempertemukan aku dan dia. Dan, dia seharusnya tidak melupakan bahasa kami. Dan, seharusnya aku mengajarkan bahasaku padanya.

Aku kuliah di jurusan bahasa. Diejek memang, tapi biarlah.

Baiklah, aku, kan, ingin bercerita tentang dia. Dia dan aku berpisah sampai sekarang. Ternyata, semua perkiraanku melenceng. Yang kupendam makin kupendam. Salahku, justru makin keperam hingga semuanya menjadi sulit bagiku.

Dia: Aku Sungguh Malu

Hanya kau saja, kan, di sini? Aku tak perlu malu-malu padamu.


Dia. Kami tidak pernah bertegur sapa. Entahlah. Seharusnya, dia temanku. Temanku yang dulu. Dia kembali. Seharusnya, dia menemuiku dahulu. Bercerita pertama kali denganku. Bercanda pertama kali denganku.

Apa kau pernah merasa kehilangan teman? Seperti itulah rasaku dahulu. Aku ingin dengar ceritanya dari negri seberang agar aku juga bisa ke sana. Tapi, mana? Dia tak kunjung datang. Dia banyak sekali teman meski bukan aku.

Aku jadi malu tiap berpapasan dengannya. Aku hanya menunduk atau membuang muka. Biarlah, aku menyimpan rasa untuk sendiri saja. Aku hanya mencoba menepis dan berulang kali berkata, "Ah, aku hanya sedang puber. Ini hanya sebentar. Nanti juga lupa."

Ini memalukan.


Dia: Pertemuan Kembali

Aku akan melanjutkan cerita, semoga kau tidak tertawa.

Siapa sangka aku akan bertemu lagi dengannya. Merindukannya saja sepertinya aku tidak pernah. Iya, aku sudah lupa. Dia hanya teman biasa. Satu teman pergi, aku dapat teman lagi. Dia tidak berarti apa-apa.

Dia datang ke negri ini lagi, tapi berada jauh dariku. Kabarnya selalu sampai ke telingaku. Mengapa? Selalu ada yang menghubungkan kami, tapi tak perlu kuceritakan. Awalnya, aku merasa biasa. Ya, aku ingat dia, tapi tanpa rasa. Biasa saja. Ya, kami pernah bersama, tapi biasa saja.

Begitulah, sampai suatu hari aku bertemu dengannya. Masih biasa saja. Ya, aku ingat. Dia menyapa dengan senyum, aku pun demikian. Dia tidak berkata, aku pun demikian. Seperti katanya dulu, dia akan lupa pada bahasa kami.

Tiga tahun berlalu, dia datang lagi ke kotaku. Kami diterima di sekolah yang sama. Andai kau tahu bagaimana dulu dia tampak sangat menyebalkan. Dia begitu populer. Rupawan mukanya mungkin. Semua orang membicarakannya, "Hei, lihat, itu si ini. Dia yang dari negri seberang. Keren, bukan?".
Kataku dalam hati, "Hei, apa peduliku dengan semua itu."

Tapi, aku ingat, dia pernah menyapaku. Menyapaku dengan namaku yang dahulu. Entah. Aku sungguh malu.

Dia: Kami Hanya Teman

Hai...ingin meracau saja hari ini. Aku ingin cerita tentang dia. Agak rahasia, tapi biarlah. Toh, di sini hanya ada kau saja.

Dia. Berulang kali aku berkata pada diri sendiri, pasti aku sudah gila. Bertahun-tahun aku bertanya mengapa selalu dia yang ingin kulihat. Mengapa selalu dia yang ingin kudoakan. Mengapa selalu dia yang ingin  kuceritakan. Apakah aku ingin bersamanya? Ah, tidak juga. Atau, aku belum menginginkannya. Aku hanya ingin dia baik saja, makin dewasa, bertemu dengan teman yang tepat, dan menjadi orang yang sadar akan dirinya.

Ah, kau sudah menebak. Memang gampang ditebak. Bukan galau hanya ingin bercerita.

Kapan aku mengenalnya, aku sudah lupa. Aku ingat bertahun-tahun yang lalu kami bermain bersama. Dia bercerita dengan lagak jumawa bahwa dia akan pergi. Oh. Aku tidak ingat rasanya. Mungkin juga karena dia memang bukan orang yang berarti bagiku. Hanya teman bermain biasa. Dia pergi, aku dapat teman lagi.

Aku ingat hari itu. Aku bertanya apakah dia akan kembali. Ya, dia bilang dia akan kembali. Aku bertanya apakah dia akan mengingat bahasa daerah kami. Dia bilang, mungkin tidak ingat lagi karena dia akan pergi lama ke tempat yang jauh dan asing. "Ajari aku bahasa asing itu", mintaku. Ya, dia mengajariku meski aku tahu itu bahasa karangannya yang lebih buruk dari racauan orang gila.

Itu saja yang kuingat. Tentu saja, pasti karena dia tidak berarti apa-apa.

Tanggamus, Lampung: Warisan Pusaka


Warisan. Awal Agustus kemarin aku pergi ke Lampung. Di sebuah dusun yang memiliki adat saibatin. Penduduk asli Lampung terbagi atas 2, yakni papadun dan saibatin. Papadun biasanya berlokasi di daerah pegunungan, sedangkan saibatin berada di wilayah pesisir.

Di sana, dusun disebut "pekon". Kebetulan, saya tinggal di pekon yang menganut adat saibatin. Di pekon yang saya tinggali selama 4 hari, warga dan tetua adat mengaku bahwa hukum waris di pekon ini mengikuti hukum adat. Seperti apa adatnya?

Harta warisan ada 2, yakni warisan pusaka dan warisan harta gono-gini. Warisan pusaka adalah warisan turun-temurun dari sebuah keluarga. Warisan ini secara otomatis akan jatuh ke tangan anak laki-laki tertua. Harta ini tidak boleh dibagi dan ahli waris bertanggung jawab penuh untuk menjaga keutuhannya.

Ahli waris juga bertanggung jawab penuh atas saudara-saudara dan kerabatnya hingga kehidupan mereka mapan. Sungguh berat, ya, tugas ahli waris ini? Memang.

Tiap budaya itu bagiku mengagumkan. Masing-masing memiliki kearifan dan tujuan ideal yang luhur. Sistem waris seperti ini akan membuat harta keluarga tetap terjaga keutuhannya. Ini berarti identitas keluarga tetap terjaga. Namun, bagaimana penerapannya?

Aku berbincang dengan banyak orang. Tentu saja hukum waris seperti ini banyak menuai masalah. Bayangkan, bagaimana jika ahli waris yang ditunjuk bukan orang yang bertanggung jawab. Harta keluarga terbengkalai, tidak produktif, habis, tamatlah identitas keluarga. Kerabat yang belum mapan tidak terurus. Aku berbincang dengan seseorang. Dia mengaku bukan pewaris harta keluarga. Dia bilang dia hanya bisa menerimanya karena hukum adat tidak bisa dibantah. Dan, tanyaku bagaimana dengan kehidupannya yang  seharusnya dibantu oleh ahli waris. Dia bilang, ya, memang wajar jika kesulitan minta bantuan, tapi bantuan ada jika memang ada dan wajar juga bantuan tidak selamanya ada.

Hmmm...jadi ingat keluargaku...

Hai...

Hei, lama sekali aku tidak menjenguk blog. Aku seperti tidak punya komitmen untuk menulis.
Bukan begitu. Hanya saja aku masih saja lebih menyukai diam. Entah sejak kapan. Apa menurutmu itu buruk? Sepertinya, kemampuan menulisku juga menurun drastis.

Banyak yang ingin kuceritakan, tapi aku tidak tahu aku harus mulai dari mana. Lalu, apakah tulisanku berguna untuk dibaca. Atau, aku hanya akan berkata-kata tiada guna.

Sebenarnya, aku sangat suka berbicara meski tidak denganmu, tapi denganku.