Sabtu, 30 Oktober 2010

Surat untuk Sahabat

Sahabat,

Dunia ini begitu luas tapi aku memilihmu,
jangan biarkan aku berjalan sendiri
jangan tinggalkan aku

karena dunia ini begitu luas
dan memang aku suka berjalan sendiri melihat dunia
ketika sekarang aku berdiri mengetuk pintumu
dan kau memintaku menunggu
..........................

Sahabatku,
dunia ini begitu luas
dan aku suka berjalan sendiri
tapi jangan kau biarkan
apalagi untuk menunggu

Sahabatku,
dunia ini begitu luas
jika kau biarkanku
kau tidak akan menemukanku kembali

Tentang Seseorang

Sudahlah. Sepertinya dia tidak tahu bahwa aku sakit karenanya. Siapa yang bodoh. Atau memang dia pura-pura bodoh. Atau menganggapku bodoh.

Aku dan Seseorang

Kini kami hanya sama-sama diam. Tidak mampu berkata. Atau karena tidak ada yang perlu dikatakan karena kami sama-sama tahu. Atau sama-sama tahu bahwa sebenarnya kami bertentangan. Kami mencoba mengerti hingga akhirnya kami (atau hanya aku) tidak juga mengerti. Biarlah. Waktu yang akan mendewasakan kami. Siapapun yang salah semoga Allah segera mengembalikannya. Allah Maha Tahu dan Maha Pemberi Petunjuk. Semua akan baik-baik saja. Biarlah. Aku tidak perlu sampai kehilangan nafsu makan untuk ini.

Masih Tentang 'Marah'

Sudah saya katakan kemarin bahwa saya sedang berpacaran dengan 'marah'.
Barangkali saya tahu mengapa. Saya sedang berpikir. Saya bimbang hingga akhirnya hanya diam dan sakit.

Saya mulai mempertanyakan apa itu kesolehan. Ketidakpercayaan saya pada kesolehan yang terungkap secara verba. Tetapi bagaimana saya bisa tahu tindakannya, karena saya hanya mengenalnya secara verba.

Baiklah. Saya akan tetap diam karena hanya Allah Yang Maha Tahu isi hati orang. Saya hanya akan berdoa agar semuanya baik-baik saja.

Titik Awal

Saya sedang sakit, mungkin sekarat, atau belum, mungkin hampir. Entah. Pokoknya saya sedang sakit. Nafak sesak. Jantung berdebar. Tanah yang kupijak terasa miring. Ada banyak kunang-kunang yang tampak tersesat mendengung-dengung di pelupuk mataku. Aku sakit.

Ada sesuatu yang terenggut dariku.

Aku sakit. Aku meringis menahan sakit. Ingin menangis tapi energiku yang memaksa otot kelenjar air mata untuk menangis sudah terkuras sebelum air mata itu keluar. Aku sudah kelelahan. Lemas.

Aku tidak punya kontrol untuk proteksi diriku sendiri ketika ‘marah’ itu perlahan-lahan menguasaiku. Kemarahan bertubi-tubi hingga akhirnya aku hanya terduduk lemas kelelahan. Kemarahan yang masih terproses di otak tanpa pernah tergramatikal pada lisan. Aku hanya bungkam.

Sakit itu terus menggerogotiku hingga sekarang aku benar-benar sekarat.

Kini, aku hanyalah orang buta dan tuli. Gelap, hitam, dan sunyi. Aku tidak bisa melihat dan mendengar apa-apa. Bahkan aku merindukan bagaimana mengenal ibu, ayah, saudara, teman, dan semesta. Mungkin belakangan aku jauh dari Tuhan.

Perjalananku begitu panjang dan rumit hanya untuk menghasilkan kata-kata diam. Membisu. Karena aku sudah mengerti bahwa jawaban ada jika kutengok dan terus kugali alam batinku. Jawaban pasti. Adanya Tuhan.

Yah, aku harus bergegas kembali.