Minggu, 07 November 2010

Cukup


Sudahlah, lebih baik Kau diam. Jangan ulang-ulang kata itu apalagi bawa nama Tuhan. Aku tidak berani. Yang ingin kusampaikan adalah Kau hanya menggunakan itu sebagai jalan. Entah. Mungkin Kau akan mengolok-olokku bahwa keimananku tipis. Entahlah. Aku pun tak tahu. Yang jelas aku merasa itu memang tidak baik. Berhentilah. Aku tidak bisa menerima. Aku sedang belajar. Belajarlah Kau sendiri. Jangan cari perhatianku dengan pamer ilmumu. Aku tidak bisa menerima.

Jumat, 05 November 2010

Pernyataan Maaf untuk Sahabat


Memang tidak seharusnya aku mencari teman untuk sekadar teman pemecah sepi sendiri tanpa arti. Yang kupertanyakan ialah ketika aku merasa yakin aku mendapat sahabat berarti, suatu ketika kedekatan itu seperti bencana yang membuat hubungan rumit, aneh, dan membuatku menyakiti diri sendiri. Perasaan buruk, memuakkan, memualkan makin menjadi-jadi.

Namun, agaknya barusan aku mendapat pencerahan. Jiaaahhh, macam definisi budaya saja. Iya, kita tidak boleh sedih karena kita punya budaya... yang ini kapan-kapan saja ceritanya. Lagipula, aku harus segera menyingkirkan buku-buku sastra sarat filsafat itu dahulu dan kembali pada keimanan, Qur an dan sunah, kurang mengerti juga sih, aku kurang tahu ilmu agama, semoga segera mendapat hidayah.

Back to the main topic...

Yah, beberapa hari ini, kemarahanku makin menjadi-jadi. Aku depresi. Stres. Gila. Menuangkan semuanya dalam tulisan...mungkin dosen penulisan populerku mengerti...dan seorang sahabat lama yang muncul lagi sebagai pahlawan penyelamatku dari keterpurukan. Dia sibuk juga belakangan ini. 

Aku menulis begitu banyak. Merenung begitu banyak. Menangis begitu banyak. Mengeluh begitu banyak. Membenci begitu banyak. Tapi pada akhirnya, tulisanku berakhir. Yang tersisa hanya tulisan “Aku sayang Kamu, Temanku. Terserah, Kau tahu atau tidak. Kamu memang tidak pernah merasa perlu  mengetahui tentangku. Tak apa. Tapi aku masih menyayangimu, Sahabatku”.


Selasa, 02 November 2010

Puisi Aku Ingin (karya Sapardi SD) Puisi Sufi

Puisi Cinta Hamba pada Tuhan

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak pernah diucapkan
kayu pada api yang menjadikannya abu


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak pernah disampaikan
awan pada hujan yang menjadikannya tiada
(Sapardi Djoko Darmono)

Pasti puisi ini sudah tidak asing lagi bagi para penikmat sastra, apalagi muda-mudi yang sedang dirundung asmara. Puisi bahkan sering dikutip untuk mengungkapkan cinta atau sebagai referensi seseorang untuk mendefinisikan cinta.

Memang benar ini puisi cinta. Sekadar pendapat, ini puisi cinta yang amat sederhana tapi mengandung makna luar biasa.

Bagi saya ini tidak saja bisa diartikan puisi seseorang yang dengan cinta tulus pada orang lain. Ini puisi sufi. Ini puisi cinta seorang hamba pada Tuhannya.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Cinta seorang hamba memang sangat sederhana. Jauh lebih sederhana dibanding cinta sang Pencipta pada hambanya.

dengan kata yang tak pernah diucapkan
dengan isyarat yang tak pernah disampaikan

Sudah menjadi kesepakatan universal bahwa cinta yang tulus tidak terkatakan. Tidak perlu digembar-gemborkan.

kayu pada api yang menjadikannya abu
awan pada hujan yang menjadikannya tiada

Di sini letak kesufian puisi ini. Lihat, kayu dan api, awan dan hujan, adalah simbol kedekatan, bahkan penyatuan. Jika kita teliti lagi dari kacamata sufi, puisi ini menggunakan ide-ide tasawuf. Manunggaling kawula Gusti—pernah dengar istilah ini kan? Inilah konsep tasawuf yang diajarkan seorang sufi Jawa Syeh Siti Jenar yang intinya berarti kemanunggalan/ kesatuan makhluk dengan Tuhannya.

Puisi sufi merupakan sarana penyair untuk menyampaikan pemahamannya akan keberadaan Tuhan. Isinya sama, yakni keyakinan dalam hati akan Tuhan, pelepasan raga atau pelepasan kehidupan duniawi, kesucian roh, bahkan penyatuan hati pada Tuhan.

Jika dengan betul kau baca dirimu bagai naskah
Kau akan kekal, roh itu kebenaran, yang lain semuanya dusta
Nizami. Haft Paikar (Tujuh Jelita)

Senin, 01 November 2010

Kesombongan

Apa kau tidak merasa bahwa barusan kau telah menyakitiku dengan kesombonganmu itu?

Bagaimana aku bisa mengerti? Aku tidak mengerti. Aku memang bodoh dan kau pintar. Begitu? Apa aku tidak boleh berbicara. Berbicara hanya membuatku tampak bodoh. Begitu?

Kawan, aku tidak akan membalasmu meskipun aku sakit hati, karena mungkin aku juga sering menyakitimu karena kebodohanku.

Namun, perhatianku tulus untukmu. Kesedihanmu telah menjadi bagian dari diriku. Kala kau tengah menderita, bertambah pula deritaku. Aku menderita atas penderitaanmu. Aku menderita atas diriku. Aku menderita atas ketidaksanggupanku menemanimu. Aku menderita karena kau menganggapku hanyalah seorang bodoh tak berperasaan. Aku menderita.

Perhatianku tulus untukmu. Apakah suatu saat kau akan menyadari?

Sebenarnya, tidak perlu aku bicarakan.

Diam

Aku memilih diam. Diam karena aku sadar bahwa bahasa bukanlah alat komunikasi yang sebenarnya. Bahasa hanyalah usaha manusia untuk mengungkapkan apa yang ia rasa. Tetapi aku merasa bahwa terkadang bahasa itu sendiri suatu bencana.

Aku memilih diam. Diam karena aku sadar kata-kata hanya ungkapan verba yang ada di permukaan. Seandainya kita tengok apa yang ada di benak manusia. Kita akan tahu betapa kejinya diri kalian. Ada berapa kebohongan dan kemunafikan?

Mengapa aku menulis? Karena aku butuh. Karena aku tidak pandai berbicara.
Mengapa aku menulis? Karena aku ingin mengkomunikasikan apa yang aku rasa. Namun, tetap saja selama aku menulis, aku makin tidak mengerti apa atau siapa aku ini.

Sabtu, 30 Oktober 2010

Surat untuk Sahabat

Sahabat,

Dunia ini begitu luas tapi aku memilihmu,
jangan biarkan aku berjalan sendiri
jangan tinggalkan aku

karena dunia ini begitu luas
dan memang aku suka berjalan sendiri melihat dunia
ketika sekarang aku berdiri mengetuk pintumu
dan kau memintaku menunggu
..........................

Sahabatku,
dunia ini begitu luas
dan aku suka berjalan sendiri
tapi jangan kau biarkan
apalagi untuk menunggu

Sahabatku,
dunia ini begitu luas
jika kau biarkanku
kau tidak akan menemukanku kembali

Tentang Seseorang

Sudahlah. Sepertinya dia tidak tahu bahwa aku sakit karenanya. Siapa yang bodoh. Atau memang dia pura-pura bodoh. Atau menganggapku bodoh.

Aku dan Seseorang

Kini kami hanya sama-sama diam. Tidak mampu berkata. Atau karena tidak ada yang perlu dikatakan karena kami sama-sama tahu. Atau sama-sama tahu bahwa sebenarnya kami bertentangan. Kami mencoba mengerti hingga akhirnya kami (atau hanya aku) tidak juga mengerti. Biarlah. Waktu yang akan mendewasakan kami. Siapapun yang salah semoga Allah segera mengembalikannya. Allah Maha Tahu dan Maha Pemberi Petunjuk. Semua akan baik-baik saja. Biarlah. Aku tidak perlu sampai kehilangan nafsu makan untuk ini.

Masih Tentang 'Marah'

Sudah saya katakan kemarin bahwa saya sedang berpacaran dengan 'marah'.
Barangkali saya tahu mengapa. Saya sedang berpikir. Saya bimbang hingga akhirnya hanya diam dan sakit.

Saya mulai mempertanyakan apa itu kesolehan. Ketidakpercayaan saya pada kesolehan yang terungkap secara verba. Tetapi bagaimana saya bisa tahu tindakannya, karena saya hanya mengenalnya secara verba.

Baiklah. Saya akan tetap diam karena hanya Allah Yang Maha Tahu isi hati orang. Saya hanya akan berdoa agar semuanya baik-baik saja.

Titik Awal

Saya sedang sakit, mungkin sekarat, atau belum, mungkin hampir. Entah. Pokoknya saya sedang sakit. Nafak sesak. Jantung berdebar. Tanah yang kupijak terasa miring. Ada banyak kunang-kunang yang tampak tersesat mendengung-dengung di pelupuk mataku. Aku sakit.

Ada sesuatu yang terenggut dariku.

Aku sakit. Aku meringis menahan sakit. Ingin menangis tapi energiku yang memaksa otot kelenjar air mata untuk menangis sudah terkuras sebelum air mata itu keluar. Aku sudah kelelahan. Lemas.

Aku tidak punya kontrol untuk proteksi diriku sendiri ketika ‘marah’ itu perlahan-lahan menguasaiku. Kemarahan bertubi-tubi hingga akhirnya aku hanya terduduk lemas kelelahan. Kemarahan yang masih terproses di otak tanpa pernah tergramatikal pada lisan. Aku hanya bungkam.

Sakit itu terus menggerogotiku hingga sekarang aku benar-benar sekarat.

Kini, aku hanyalah orang buta dan tuli. Gelap, hitam, dan sunyi. Aku tidak bisa melihat dan mendengar apa-apa. Bahkan aku merindukan bagaimana mengenal ibu, ayah, saudara, teman, dan semesta. Mungkin belakangan aku jauh dari Tuhan.

Perjalananku begitu panjang dan rumit hanya untuk menghasilkan kata-kata diam. Membisu. Karena aku sudah mengerti bahwa jawaban ada jika kutengok dan terus kugali alam batinku. Jawaban pasti. Adanya Tuhan.

Yah, aku harus bergegas kembali.