Sampai
Dia dewasa, sampai Dia tiada; aku masih diam di sini. Statis tidak bergerak
dengan ingatan masa lalu yang jelas. Inilah takdir. Masa lalu memang sudah
berlalu. Masa lalu selalu lebih indah jika telah berlalu. Kenangan. Kadang aku bertanya
apa orang yang kita kenang mengenang kita pula. Hatiku akan hancur bila
mengakui bahwa kenangan sifatnya subjektif. Tidak selalu yang kita kenang
adalah kenangan berharga pula bagi orang lain. Tapi memang begitu adanya.
Apalagi bila menyangkut orang yang kita sayangi.
Apalah
arti yang tengah aku rasakan? Suatu yang abstrak tapi nyata. Suatu yang
kuketahui bahwa ini terkadang berasal dari sensasi yang sengaja dirasa.
Cinta?
Apalah
arti kenangan. Semua hanya bualan memori, rasa kita yang melebih-lebihkan.
Hanya untuk pembuktian eksistensi. Pembuktian. Hanyalah ingatan. Ingatan dengan sensasi karena kita
yang mengkondisikannya sendiri. Tidak ada gejolak kehidupan. Statis. Kita
mereka-reka memori. Tambahan sini sana. Jadilah kenangan yang indah. Yang terus
tersimpan. Yang makin lama makin indah karena jiwa kita yang sedang sekarat
terus mengeksplorasinya. Begitu terus hingga memori kita menyetujui itu adalah
kenangan yang nyata, walau itu palsu dan sakit.
Aku
merindukanmu, Dia. Tahukah Kamu, aku sekarang sendiri dengan sakit ini. Dia.
Dulu,
Dia selalu duduk di sini mencari pemandangan seseorang di seberang sana. Seseorang
yang katanya ia cintai. Begitu yang ia katakan padaku. Dulu ketika ia berbicara
seperti itu aku hanya diam. Ah, seandainya aku bisa bicara. Aku akan bilang,
“Kau bodoh.” Tapi, sudahlah, Dia sudah tidak di sini menangisi seseorang. Dia
di mana, biarlah.
Hari
ini, aku sudah melihat Nafa melintas 7 kali di depanku. Aku melihat Nafa
menggendong anak kecil. Apa itu anaknya? Oh, cuma keponakan. Tampan benar. Nafa
juga tampan. Nafa sudah dewasa, sudah makin tampan, sudah makin pintar, sudah
makin pandai berbahasa asing, sudah makin ... ah, seandainya Dia di sini apa
Dia akan berteriak histeris lagi seperti dulu. Masih mencintainya seperti yang
dulu dikatakannya kepadaku. Dulu.
Dulu,
kala Dia masih di sini bersamaku, melihat kenangan tentang Nafa dari sini
bersamaku. Dia sering melamun, kadang menangis jika ibunya tidak di rumah. “Nafa...
Nafa...Nafa.” Akan tetapi, Nafa tidak pernah muncul.
Aku
jadi ingat Dia dan Nafa ketika mereka masih kecil. Masih kecil benar mereka
bertemu. Di sini, ada aku juga.
“Nafa.”
“Dia.”
Singkat
perkenalan mereka. Singkat perjumpaan mereka. Singkat kebersamaan mereka.
Namun, ada cinta.
Nafa
dan Dia kerap bermain bersama. Hingga suatu hari, Nafa pergi. Pergi. Seberang
selalu senyap, tertutup, dan buram. Meskipun di sini ada yang hidup, sama saja
dengan seberang. Cuma ada aku dan Dia di sini memandang seberang.
“Nafa
pindah. Nafa pindah.”
Aku
diam.
“Bicaralah.”
Aku
diam.
“Kau
sahabatku.”
Aku
diam.
Dia,
kini aku merindukannya. Namun, apalah aku ini. Hanya tempat meratap. Dia juga sudah
pergi. Aku masih di sini. Statis. Aku merasa menjadi tua walau sebenarnya aku
tidak akan tua karena aku sudah tidak punya nyawa sejak puluhan tahun lalu.
Dulu,
aku menganggap Dia egois. Dia hanya mengungkapkan perasaannya. Dia tidak pernah
bertanya tentang perasaanku. Dia hanya bertanya tentang perasaannya kepada Nafa
atau perasaan Nafa kepadanya. Seandainya, Dia bertanya perasaanku, Dia pasti
tahu perasaanku, bahwa aku juga bisa mencinta.
Dia,
aku mencinta yang di seberang. Kau tidak pernah tahu. Aku bisa menyebut ini
beruntung atau buntung sekaligus. Aku statis di sini. Yang di seberang statis
di sana. Kita hanya saling lihat. Saling tatap. Tanpa ada senyum. Tanpa ada
cerita karena aku bisa melihat ceritanya dari tempatku dan ia bisa melihat
ceritaku dari tempatnya.
Seandainya.
Hingga
sekarang ketika aku merasa bertambah tua, ia justru bertambah muda. Dulu, kami
sama. Sama. Tanpa ekspresi. Jangan tanya soal hati. Mereka yang berjalan, yang
berbicara, yang mendengar, yang melihat, banyak yang tidak punya hati. Kaum
kamilah, aku dan yang di seberang, adalah yang jujur. Sayang, Tuhan tidak
mengizinkan kami berjalan dan berbicara. Kami hanya bisa mendengar dan melihat.
Tapi kami diberi hati untuk menilai karena di akhir periode alam, mulut kami akan
dibuka.
Tuhan
memberikan aku hati yang membuatku merana karena aku jadi bisa mencinta.
Eh,
hai, apa itu Nafa di balik tirai di seberang? Nafa kembali sebulan lalu setelah
20 tahun menghilang, kembali ada di seberang. Hai, apa aku tidak salah dengar?
“Dia”
Itu
memang suara Nafa.
“Aku
suka Dia. Aku rindu Dia. Dia di mana, sekarang?”
Oh,
Nafa, seandainya Tuhan mengizinkanku berbicara, akan aku katakan tentang Dia.
Aku mengerti sekarang. Pertengkaran bertahun-tahun silam antara orang-orang
pemilik yang di sini dan pemilik yang di seberang. Pertengkaran hebat hingga
batu melewatiku dan melukai kekasihku di seberang. Suara-suara itu.
“Plak!”
“Prang!”
“Perebut
suami orang. Perempuan lacur.”
“Nenek
tua jelek.”
“Plak!”
“Prang!”
Ada
tangisan Dia. Nafa hanya diam ketakutan. Mereka berdua lantas diseret ke arah
simpang kanan dan kiri. Mereka sempat bergandengan tapi putus juga. Nafa dan
Dia berpisah.
Nafa
dan ayah ibunya yang pergi agar ibu Dia tidak mengganggu ayah Nafa. Tapi siapa
mengganggu siapa?
Aku
tahu semuanya yang benar. Ibu Dia dan ayah Nafa dulu sekali juga teman
sekaligus kekasih. Mereka juga berpisah karena kedua orang tuanya bertengkar.
Takdir itu masih berlanjut pada Dia dan Nafa yang kemudian berpisah juga.
Dulu,
sepeninggal Nafa, Dia menangis di sini bersamaku.
Aku
adalah jendela. Kini, aku sendiri, merana, dan tua. Kekasihku, jendela di
seberang makin tampan. Nafa datang ketika ada kabar gempa. Aku dan kekasihku
adalah jendela yang bertahan. Nafa memperbaiki rumahnya yang dulu, merawat
kekasihku.
Sekarang
Nafa sedang menangisi Dia di seberang. Dia tidak akan kembali. Tidak akan
karena ada gempa yang menguburnya di sini dengan aku sebagai kayu nisan.
Dia
mati. Nafa dan Dia berpisah tanpa ada kesempatan bertemu lagi. Lalu aku? Aku
dan kekasihku. Tidak ada yang memisahkan kami tapi tidak ada yang menyatukan
kami. Aku merasa makin tua dan jelek. Kekasihku makin tampan. Apa ia masih
melihatku atau hanya sekadar menghadapku. Kekasihku ada Nafa, sedangkan aku,
selamanya akan makin lapuk sebagai kayu nisan kuburan Dia. Sendiri dengan
puisi.
Burung
bul-bul bersuara merdu menyanyikan kidung-kidung cinta di atas pusara Laila dan
Majnun atau mereka yang lain yang mati karena cinta. Sayang, aku tetap memiliki
hati untuk terus mencinta dan melukai diri sendiri, dan aku tidak bisa mati;
karena aku sudah tidak pernah punya nyawa.
Depok, Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar