Rabu, 05 September 2012

Jendela Dia

Sampai Dia dewasa, sampai Dia tiada; aku masih diam di sini. Statis tidak bergerak dengan ingatan masa lalu yang jelas. Inilah takdir. Masa lalu memang sudah berlalu. Masa lalu selalu lebih indah jika telah berlalu. Kenangan. Kadang aku bertanya apa orang yang kita kenang mengenang kita pula. Hatiku akan hancur bila mengakui bahwa kenangan sifatnya subjektif. Tidak selalu yang kita kenang adalah kenangan berharga pula bagi orang lain. Tapi memang begitu adanya. Apalagi bila menyangkut orang yang kita sayangi.
Apalah arti yang tengah aku rasakan? Suatu yang abstrak tapi nyata. Suatu yang kuketahui bahwa ini terkadang berasal dari sensasi yang sengaja dirasa. Cinta? 

Apalah arti kenangan. Semua hanya bualan memori, rasa kita yang melebih-lebihkan. Hanya untuk pembuktian eksistensi. Pembuktian. Hanyalah  ingatan. Ingatan dengan sensasi karena kita yang mengkondisikannya sendiri. Tidak ada gejolak kehidupan. Statis. Kita mereka-reka memori. Tambahan sini sana. Jadilah kenangan yang indah. Yang terus tersimpan. Yang makin lama makin indah karena jiwa kita yang sedang sekarat terus mengeksplorasinya. Begitu terus hingga memori kita menyetujui itu adalah kenangan yang nyata, walau itu palsu dan sakit.
Aku merindukanmu, Dia. Tahukah Kamu, aku sekarang sendiri dengan sakit ini. Dia.
Dulu, Dia selalu duduk di sini mencari pemandangan seseorang di seberang sana. Seseorang yang katanya ia cintai. Begitu yang ia katakan padaku. Dulu ketika ia berbicara seperti itu aku hanya diam. Ah, seandainya aku bisa bicara. Aku akan bilang, “Kau bodoh.” Tapi, sudahlah, Dia sudah tidak di sini menangisi seseorang. Dia di mana, biarlah.
Hari ini, aku sudah melihat Nafa melintas 7 kali di depanku. Aku melihat Nafa menggendong anak kecil. Apa itu anaknya? Oh, cuma keponakan. Tampan benar. Nafa juga tampan. Nafa sudah dewasa, sudah makin tampan, sudah makin pintar, sudah makin pandai berbahasa asing, sudah makin ... ah, seandainya Dia di sini apa Dia akan berteriak histeris lagi seperti dulu. Masih mencintainya seperti yang dulu dikatakannya kepadaku. Dulu.
Dulu, kala Dia masih di sini bersamaku, melihat kenangan tentang Nafa dari sini bersamaku. Dia sering melamun, kadang menangis jika ibunya tidak di rumah. “Nafa... Nafa...Nafa.” Akan tetapi, Nafa tidak pernah muncul.
Aku jadi ingat Dia dan Nafa ketika mereka masih kecil. Masih kecil benar mereka bertemu. Di sini, ada aku juga.
“Nafa.”
“Dia.”
Singkat perkenalan mereka. Singkat perjumpaan mereka. Singkat kebersamaan mereka. Namun, ada cinta.
Nafa dan Dia kerap bermain bersama. Hingga suatu hari, Nafa pergi. Pergi. Seberang selalu senyap, tertutup, dan buram. Meskipun di sini ada yang hidup, sama saja dengan seberang. Cuma ada aku dan Dia di sini memandang seberang.
“Nafa pindah. Nafa pindah.”
Aku diam.
“Bicaralah.”
Aku diam.
“Kau sahabatku.”
Aku diam.
Dia, kini aku merindukannya. Namun, apalah aku ini. Hanya tempat meratap. Dia juga sudah pergi. Aku masih di sini. Statis. Aku merasa menjadi tua walau sebenarnya aku tidak akan tua karena aku sudah tidak punya nyawa sejak puluhan tahun lalu.
Dulu, aku menganggap Dia egois. Dia hanya mengungkapkan perasaannya. Dia tidak pernah bertanya tentang perasaanku. Dia hanya bertanya tentang perasaannya kepada Nafa atau perasaan Nafa kepadanya. Seandainya, Dia bertanya perasaanku, Dia pasti tahu perasaanku, bahwa aku juga bisa mencinta.
Dia, aku mencinta yang di seberang. Kau tidak pernah tahu. Aku bisa menyebut ini beruntung atau buntung sekaligus. Aku statis di sini. Yang di seberang statis di sana. Kita hanya saling lihat. Saling tatap. Tanpa ada senyum. Tanpa ada cerita karena aku bisa melihat ceritanya dari tempatku dan ia bisa melihat ceritaku dari tempatnya.
Seandainya.
Hingga sekarang ketika aku merasa bertambah tua, ia justru bertambah muda. Dulu, kami sama. Sama. Tanpa ekspresi. Jangan tanya soal hati. Mereka yang berjalan, yang berbicara, yang mendengar, yang melihat, banyak yang tidak punya hati. Kaum kamilah, aku dan yang di seberang, adalah yang jujur. Sayang, Tuhan tidak mengizinkan kami berjalan dan berbicara. Kami hanya bisa mendengar dan melihat. Tapi kami diberi hati untuk menilai karena di akhir periode alam, mulut kami akan dibuka.
Tuhan memberikan aku hati yang membuatku merana karena aku jadi bisa mencinta.
Eh, hai, apa itu Nafa di balik tirai di seberang? Nafa kembali sebulan lalu setelah 20 tahun menghilang, kembali ada di seberang. Hai, apa aku tidak salah dengar?
“Dia”
Itu memang suara Nafa.
“Aku suka Dia. Aku rindu Dia. Dia di mana, sekarang?”
Oh, Nafa, seandainya Tuhan mengizinkanku berbicara, akan aku katakan tentang Dia. Aku mengerti sekarang. Pertengkaran bertahun-tahun silam antara orang-orang pemilik yang di sini dan pemilik yang di seberang. Pertengkaran hebat hingga batu melewatiku dan melukai kekasihku di seberang. Suara-suara itu.
“Plak!”
“Prang!”
“Perebut suami orang. Perempuan lacur.”
“Nenek tua jelek.”
“Plak!”
“Prang!”
Ada tangisan Dia. Nafa hanya diam ketakutan. Mereka berdua lantas diseret ke arah simpang kanan dan kiri. Mereka sempat bergandengan tapi putus juga. Nafa dan Dia berpisah.
Nafa dan ayah ibunya yang pergi agar ibu Dia tidak mengganggu ayah Nafa. Tapi siapa mengganggu siapa?
Aku tahu semuanya yang benar. Ibu Dia dan ayah Nafa dulu sekali juga teman sekaligus kekasih. Mereka juga berpisah karena kedua orang tuanya bertengkar. Takdir itu masih berlanjut pada Dia dan Nafa yang kemudian berpisah juga.
Dulu, sepeninggal Nafa, Dia menangis di sini bersamaku.
Aku adalah jendela. Kini, aku sendiri, merana, dan tua. Kekasihku, jendela di seberang makin tampan. Nafa datang ketika ada kabar gempa. Aku dan kekasihku adalah jendela yang bertahan. Nafa memperbaiki rumahnya yang dulu, merawat kekasihku.
Sekarang Nafa sedang menangisi Dia di seberang. Dia tidak akan kembali. Tidak akan karena ada gempa yang menguburnya di sini dengan aku sebagai kayu nisan.
Dia mati. Nafa dan Dia berpisah tanpa ada kesempatan bertemu lagi. Lalu aku? Aku dan kekasihku. Tidak ada yang memisahkan kami tapi tidak ada yang menyatukan kami. Aku merasa makin tua dan jelek. Kekasihku makin tampan. Apa ia masih melihatku atau hanya sekadar menghadapku. Kekasihku ada Nafa, sedangkan aku, selamanya akan makin lapuk sebagai kayu nisan kuburan Dia. Sendiri dengan puisi.
Burung bul-bul bersuara merdu menyanyikan kidung-kidung cinta di atas pusara Laila dan Majnun atau mereka yang lain yang mati karena cinta. Sayang, aku tetap memiliki hati untuk terus mencinta dan melukai diri sendiri, dan aku tidak bisa mati; karena aku sudah tidak pernah punya nyawa.

Depok, Februari 2010

Tidak ada komentar: