Senin, 16 Desember 2013

Untuk Seseorang di Pusaranya...

Kini permintaan maafku hanya akan melayang-layang di udara. Ucapan terima kasihku sudah tidak bermakna. Terlambat. Seharusnya, kau hidup lebih lama agar aku bisa melihatmu bahagia. Menjadi penulis inspiratif dan juga menemukan cinta.




Maafkan aku, aku memang kekanak-kanakan. Hanya mampu membatu dan kaku jika lelaki mendekat. Apalagi lelaki sepertimu yang selalu menghujaniku dengan perhatian.

Cinta itu aneh, ya? Mampu mengubah keburukan menjadi kebaikan. Aku tak mengerti ketika kau ingat tiap detil kata-kataku dan kau gunakan untuk motivasi hidup. Padahal, aku mengucapkannya dengan ketus.

Kau tetap tersenyum saat kukerjai. Air jeruk yang sangat asam kusuguhkan padamu. Kau hanya meringis sambil berkata, "Kamu yang bikin, Dek?", lalu kau menegaknya hingga abis. Ya, Tuhan...aku yakin itu sangat asam.

Aku pernah marah padamu. Marah sekali. Bisa-bisanya kau berbohong padaku. Mengatakan bahwa tulisanku dipuji-puji penulis ternama. Aku senang sekali. Tahukah kau, orang yang kau maksud itu menghubungiku. Ia ingin baca tulisanku karena katamu tulisanku bagus. Ya, saat itu aku sangat marah. Marah. Aku sampai malas untuk menulis lagi.

Tapi, harus kuakui kau hebat. Aku salut padamu. Kau punya semangat begitu tinggi, sedangkan aku tidak. Bahkan, aku tak percaya dengan kemampuanku sendiri.

Masih aku ingat bagaimana kau tergopoh-gopoh ke rumahku. Kau sodorkan koran. "Ada lomba", katamu. Dan, katamu aku harus ikut. Malas sekali aku ikut lomba itu. Kugeletakkan begitu saja sampai hari terakhir, akhirnya aku mengirim cerpen juga.

Masih aku ingat pula bagaimana kau tergopoh-gopoh membawa koran lagi. "Cerpenmu lolos seleksi, Dek. Cerpenmu. Aku yakin kamu menang di seleksi berikutnya. Kamu hebat." Aku hanya melihatmu dengan muka datar. "Aku juara?" Harus kuakui kepercayaan diriku tumbuh saat itu.

Kau berjasa. Iya, kau sangat berjasa. Dan, aku memang manusia terjahat. Aku tak punya pilihan lain selain menjadi sekeras batu dan sedingin es saat kau bertubi-tubi memberikanku perhatian. Aku tak bisa dan tak akan pernah bisa membalasnya.

Cinta itu kejam, ya? Sekejam diriku yang tak pernah membalas pesanmu atau puisi-puisimu. Sekejam diriku yang tak pernah membalas sms-mu. "Aku akan selalu menunggumu, Dek", katamu. Dalam hati, aku berkata "Terserah". Aku tak pernah punya kesempatan untuk membalas penantianmu itu. Apa kau masih menungguku?

Aku ingin kau hidup lebih lama. Suatu hari, mengejutkanku dengan mengirimiku undangan pernikahanmu. Tapi, kenapa kabar kematian yang kudengar?

Tuhan menyayangimu sehingga ia memanggilmu lebih dulu. Sudah berapa buku yang kauterbitkan? Kau memang hebat. Aku selalu mencibir tulisanmu, tapi justru kau yang bisa menerbitkan buku lebih dulu. Sedangkan, aku? Berusaha pun tak pernah.

Selamat jalan...untukmu...kini aku sadar aku merindukanmu...

Tidak ada komentar: