Minggu, 29 September 2013

MUSIM DINGIN

Perempuan itu kini mendapatkan apa yang telah lama hadir dalam mimpinya. Ia berjalan sambil bersenandung. Dihirupnya wangi dingin di sekitarnya. Dipandanginya bangunan-bangunan kokoh yang selalu ia lihat dalam mimpi. Sebetulnya itu bukan mimpi menyenangkan.


Bangunan itu mirip penjara. Penjara. Yang beku dan pastinya sangat dingin.  

Perempuan itu tersenyum. Hawa dingin semacam itu baru pertama kali ia rasakan. Betul-betul menusuk. Lebih menyakitkan daripada dingin di Bogor. Ia sama sekali tak suka dingin. Karenanya, ia membungkus diri dengan mantel berlapis, sarung tangan, kaus kaki, bahkan masker.

Sebetulnya, ia ingin tinggal di apartemen saja, tapi ia sangat ingin melihat bunga tulip. Ia lupa, tulip tidak berbunga di bulan Desember.

Ia sudah menghabiskan siang dengan mengelilingi kota. Ia juga sudah melihat kincir angin. Mirip kincir angin yang ia buat dengan adiknya di rumah dulu saat masih kecil. Hanya saja, kincir angin yang ini jauh lebih besar.

Jujur saja ia kagum. Orang-orang di sana begitu gigih mempertahankan tanah semungil itu. Sebentar terlintas dalam pikiran, ia punya kesaktian lalu mampu menghancurkan satu saja bendungan mereka dengan sorot matanya. Lalu, kota itu sedikit tenggelam. Ah, tapi, itu pikiran jahat.

Dingin terus saja menusuk. Tubuhnya belum terbiasa. Hujan yang tadinya rintik-rintik mulai turun bagai tumpahan dari langit. Perempuan itu sadar, payungnya tak akan mampu melindunginya lagi.

Perempuan itu masuk ke sebuah bangunan yang lebih bisa melindunginya dari hujan. Entahlah apa namanya. Ia berpikir itu kedai minum. Sambil menunggu coklat panasnya, ia memeriksa ponsel. Banyak pesan masuk. Ia tersenyum.

"Hai. Sudah sampai, ya? Di mana, kamu? Sori, baru balas. Sinyal jelek sekali. Aku harus manjat pohon untuk cari sinyal. Ah. Gimana kabarmu? Aduh, di sini nyamuknya sebesar lalat, besar sekali. Untung, kamu ga ikut aku ke sini. Hehe."

Perempuan itu tersenyum. Ia mulai mengetik. Pendek.

"Dingin."

Perempuan itu akan mengetik lebih banyak, tapi ia sudah mendapat balasan bertubi-tubi.

"Dingin? Sudah musim dingin? Kubilang juga apa? Ya, jelaslah di sana dingin. Bukan seperti di Bogor. Terus gimana? Kamu di apartemen saja, kan? Ya sudah, di sana saja."

"Belum ada salju. Hujannya dingin."

"Nah, nah, nah! Berarti sebentar lagi musim dingin. Jangan keluar apartemen! Eh. Hujan? Jangan-jangan kamu lagi di luar ini? Ke mana saja, kamu?"

"Lihat panti jompo. Nyamuknya bagaimana?"

"Aduh, kamu cari apa di panti jompo? Kamu ga berencana tinggal di sana, kan? Ga usah khawatirin aku. Aku baik saja. Kamu, tuh, tinggal di apartemen saja. Nanti, kamu sakit. Jangan hujan-hujanan!....."


 Perempuan itu hampir tertawa terbahak-bahak. Akun suaminya tiba-tiba mati, tak lagi online. Pasti suaminya sedang kelimpungan karena tak dapat sinyal. Atau, ponsel yang dipegangnya jatuh. Atau, ia sedang sibuk mengusir nyamuk sebesar lalat.

Ia sulit mencari alasan kenapa ia bisa jatuh cinta pada orang yang membalas satu kata darinya dengan seribu kata. Berisik sekali. Ia hampir meletakkan ponsel ketika ada pesan masuk lagi. Yah, tentu saja dari suaminya.

"Hei. Gimana? Kamu cari apa, sih? Kenapa ngotot pergi sendiri?"

"Baweeeeelllllll. Daaa, aku jalan dulu, ya."

Perempuan itu meletakkan ponsel sambil tersenyum. Sepertinya, ada pesan masuk lagi, tapi dibiarkan saja. Ia hanya berdoa semoga suaminya tetap utuh walau jadi santapan serangga-serangga tropis.

Ia mengaduk-aduk coklat panasnya. Minuman itu memang membuatnya sedikit hangat. Tapi, tentu saja tak mampu mengusir rindu pada kampungnya dan pada suaminya.

Apa yang ia cari? Perasaan itu yang ia cari. Bagaimana terpisah dengan orang yang ia sayangi? Jauh. Di tempat asing. Sendiri. Dan, di musim dingin. Rasanya, menusuk.

Perempuan itu tak pernah lupa dengan isak tangis yang didengarnya dulu. Ia hanya sedikit mengerti, tapi tak ingin bertanya. Ada telepon di rumah tetangga. Tiap hari raya, ia ikut ke sana, lalu ada tangis-tangis itu. Juga ada banyak surat. Ia girang tiap kali surat datang karena koleksi perangkonya akan bertambah, tapi ia akan kecewa karena mendapati perangko yang ia dapat selalu bergambar sama. Ia juga jadi sering diajak ke kantor pos.

Ia dan suaminya kini hidup di zaman teknologi komunikasi yang maju. Kapan saja dan di mana saja bisa bertukar kabar, bisa berbagi rindu, di tengah hutan pun bisa walau manjat pohon dulu untuk dapat sinyal. Begitu saja rasanya tidak karuan. Rasanya, ingin cepat pulang.

Bagaimana dengan dulu? Ponsel belum lebih pintar dari sebagian manusia. Apa-apa mahal. Kepentingan penguasa melindas yang lemah kuasa. Peperangan yang tak kunjung usai. Orang-orang merasa tak berdaya, termasuk untuk berkumpul dengan keluarganya.

Perempuan itu membayar coklatnya. Hujan sudah berhenti. Ia harus melanjutkan perjalanan. Ada satu tempat yang sangat ingin ia kunjungi. Ia sudah dapat alamatnya. Tidak jauh. Ia sudah dekat. Ia berjalan gemetar, juga berdebar.

Rumah itu terlihat tua. Kokoh. Lebih kokoh dari rumah-rumah yang lain. Masih terawat. Pasti ada yang menghuni. Perempuan itu melihat papan nama pemilik. Huruf tempelannya jelas, tapi jika didekati ada goresan-goresan karena ada nama sebelum itu yang ditimpa. Bagian belakang sedikit terbaca. Ia mengenali nama itu, Amba.

Perempuan itu tersenyum. Ia tertegun sejenak. Terlihat perempuan tua di kursi roda. Rambutnya putih. Seluruh kulitnya keriput. Bibir dan tangannya bergetar. Di jarinya, melingkar cincin emas bermotif naga dengan mata dan mahkota yang mungkin dari berlian.

Perempuan tua itu juga melihatnya. Wajahnya menegang. Matanya melebar. Dengan perjuangan ia mengucapkan sepatah kata.

"A..amba..."

Seorang laki-laki keluar dari rumah tua itu. Laki-laki itu berbicara dengan bahasa asing.

Perempuan itu menjawab sambil matanya tetap menatap perempuan tua. Ia menggeleng.

"Srikandi."

Mata perempuan tua itu kini terbelalak. Udara dingin makin menusuk. Salju pertama turun. Musim dingin tiba.

Tidak ada komentar: