Perempuan
itu kini mendapatkan apa yang telah lama hadir dalam mimpinya. Ia
berjalan sambil bersenandung. Dihirupnya wangi dingin di sekitarnya.
Dipandanginya bangunan-bangunan kokoh yang selalu ia lihat dalam mimpi.
Sebetulnya itu bukan mimpi menyenangkan.
Bangunan itu mirip penjara. Penjara. Yang beku dan pastinya sangat dingin.
Perempuan
itu tersenyum. Hawa dingin semacam itu baru pertama kali ia rasakan.
Betul-betul menusuk. Lebih menyakitkan daripada dingin di Bogor. Ia sama
sekali tak suka dingin. Karenanya, ia membungkus diri dengan mantel
berlapis, sarung tangan, kaus kaki, bahkan masker.
Sebetulnya,
ia ingin tinggal di apartemen saja, tapi ia sangat ingin melihat bunga
tulip. Ia lupa, tulip tidak berbunga di bulan Desember.
Ia
sudah menghabiskan siang dengan mengelilingi kota. Ia juga sudah
melihat kincir angin. Mirip kincir angin yang ia buat dengan adiknya di
rumah dulu saat masih kecil. Hanya saja, kincir angin yang ini jauh
lebih besar.
Jujur saja ia kagum. Orang-orang di sana
begitu gigih mempertahankan tanah semungil itu. Sebentar terlintas dalam
pikiran, ia punya kesaktian lalu mampu menghancurkan satu saja
bendungan mereka dengan sorot matanya. Lalu, kota itu sedikit tenggelam.
Ah, tapi, itu pikiran jahat.
Dingin terus saja menusuk.
Tubuhnya belum terbiasa. Hujan yang tadinya rintik-rintik mulai turun
bagai tumpahan dari langit. Perempuan itu sadar, payungnya tak akan
mampu melindunginya lagi.
Perempuan itu masuk ke sebuah
bangunan yang lebih bisa melindunginya dari hujan. Entahlah apa namanya.
Ia berpikir itu kedai minum. Sambil menunggu coklat panasnya, ia
memeriksa ponsel. Banyak pesan masuk. Ia tersenyum.
"Hai.
Sudah sampai, ya? Di mana, kamu? Sori, baru balas. Sinyal jelek sekali.
Aku harus manjat pohon untuk cari sinyal. Ah. Gimana kabarmu? Aduh, di
sini nyamuknya sebesar lalat, besar sekali. Untung, kamu ga ikut aku ke
sini. Hehe."
Perempuan itu tersenyum. Ia mulai mengetik. Pendek.
"Dingin."
Perempuan itu akan mengetik lebih banyak, tapi ia sudah mendapat balasan bertubi-tubi.
"Dingin?
Sudah musim dingin? Kubilang juga apa? Ya, jelaslah di sana dingin.
Bukan seperti di Bogor. Terus gimana? Kamu di apartemen saja, kan? Ya
sudah, di sana saja."
"Belum ada salju. Hujannya dingin."
"Nah,
nah, nah! Berarti sebentar lagi musim dingin. Jangan keluar apartemen!
Eh. Hujan? Jangan-jangan kamu lagi di luar ini? Ke mana saja, kamu?"
"Lihat panti jompo. Nyamuknya bagaimana?"
"Aduh,
kamu cari apa di panti jompo? Kamu ga berencana tinggal di sana, kan?
Ga usah khawatirin aku. Aku baik saja. Kamu, tuh, tinggal di apartemen
saja. Nanti, kamu sakit. Jangan hujan-hujanan!....."
Perempuan itu hampir tertawa terbahak-bahak. Akun suaminya tiba-tiba mati, tak lagi online. Pasti
suaminya sedang kelimpungan karena tak dapat sinyal. Atau, ponsel yang
dipegangnya jatuh. Atau, ia sedang sibuk mengusir nyamuk sebesar lalat.
Ia
sulit mencari alasan kenapa ia bisa jatuh cinta pada orang yang
membalas satu kata darinya dengan seribu kata. Berisik sekali. Ia hampir
meletakkan ponsel ketika ada pesan masuk lagi. Yah, tentu saja dari
suaminya.
"Hei. Gimana? Kamu cari apa, sih? Kenapa ngotot pergi sendiri?"
"Baweeeeelllllll. Daaa, aku jalan dulu, ya."
Perempuan
itu meletakkan ponsel sambil tersenyum. Sepertinya, ada pesan masuk
lagi, tapi dibiarkan saja. Ia hanya berdoa semoga suaminya tetap utuh
walau jadi santapan serangga-serangga tropis.
Ia
mengaduk-aduk coklat panasnya. Minuman itu memang membuatnya sedikit
hangat. Tapi, tentu saja tak mampu mengusir rindu pada kampungnya dan
pada suaminya.
Apa yang ia cari? Perasaan itu yang ia
cari. Bagaimana terpisah dengan orang yang ia sayangi? Jauh. Di tempat
asing. Sendiri. Dan, di musim dingin. Rasanya, menusuk.
Perempuan
itu tak pernah lupa dengan isak tangis yang didengarnya dulu. Ia hanya
sedikit mengerti, tapi tak ingin bertanya. Ada telepon di rumah
tetangga. Tiap hari raya, ia ikut ke sana, lalu ada tangis-tangis itu.
Juga ada banyak surat. Ia girang tiap kali surat datang karena koleksi
perangkonya akan bertambah, tapi ia akan kecewa karena mendapati
perangko yang ia dapat selalu bergambar sama. Ia juga jadi sering diajak
ke kantor pos.
Ia dan suaminya kini hidup di zaman
teknologi komunikasi yang maju. Kapan saja dan di mana saja bisa
bertukar kabar, bisa berbagi rindu, di tengah hutan pun bisa walau
manjat pohon dulu untuk dapat sinyal. Begitu saja rasanya tidak karuan.
Rasanya, ingin cepat pulang.
Bagaimana dengan dulu?
Ponsel belum lebih pintar dari sebagian manusia. Apa-apa mahal.
Kepentingan penguasa melindas yang lemah kuasa. Peperangan yang tak
kunjung usai. Orang-orang merasa tak berdaya, termasuk untuk berkumpul
dengan keluarganya.
Perempuan itu membayar coklatnya.
Hujan sudah berhenti. Ia harus melanjutkan perjalanan. Ada satu tempat
yang sangat ingin ia kunjungi. Ia sudah dapat alamatnya. Tidak jauh. Ia
sudah dekat. Ia berjalan gemetar, juga berdebar.
Rumah itu
terlihat tua. Kokoh. Lebih kokoh dari rumah-rumah yang lain. Masih
terawat. Pasti ada yang menghuni. Perempuan itu melihat papan nama
pemilik. Huruf tempelannya jelas, tapi jika didekati ada goresan-goresan
karena ada nama sebelum itu yang ditimpa. Bagian belakang sedikit
terbaca. Ia mengenali nama itu, Amba.
Perempuan
itu tersenyum. Ia tertegun sejenak. Terlihat perempuan tua di kursi
roda. Rambutnya putih. Seluruh kulitnya keriput. Bibir dan tangannya
bergetar. Di jarinya, melingkar cincin emas bermotif naga dengan mata
dan mahkota yang mungkin dari berlian.
Perempuan tua itu juga melihatnya. Wajahnya menegang. Matanya melebar. Dengan perjuangan ia mengucapkan sepatah kata.
"A..amba..."
Seorang laki-laki keluar dari rumah tua itu. Laki-laki itu berbicara dengan bahasa asing.
Perempuan itu menjawab sambil matanya tetap menatap perempuan tua. Ia menggeleng.
"Srikandi."
Mata perempuan tua itu kini terbelalak. Udara dingin makin menusuk. Salju pertama turun. Musim dingin tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar