Kamu belum bosan membaca ceritaku? Terima kasih.
Aku akan cerita tentang kuliahku. Ya, aku memutuskan kuliah
lagi. Aku sudah merencanakan akan kuliah lagi setelah 2 tahun kerja.
Beruntungnya aku, aku bisa mewujudkannya, walau ada yang meleset. Aku
memperkirakan akan kuliah dengan duduk manis fokus kuliah saja dan dapat
beasiswa. Sebaliknya, ternyata aku harus pontang-panting membiayai kuliah sendiri
sambil bekerja, tapi ini tetap harus disyukuri. Tidak banyak yang dapat
kesempatan seperti ini, bukan? Hehe.
Tidak sulit untukku menentukan meneruskan ke bidang apa.
Sejak semester pertama kuliah S1, aku lurus tertarik ke ilmu bahasa,
linguistik, bukan sastra. Meski jurusanku bernama jurusan sastra, aku sadar
sesadar-sadarnya aku hanyalah penikmat sastra kelas ecek-ecek saja yang senang
baca dikit-dikit lalu lupa siapa pengarangnya, duh maafkan. Meski demikian, aku
sangat mendukung pengajaran sastra di sekolah yang sebaik-baiknya, bukan yang
hafalan. Oleh karena itu, sekarang ini, aku sedang menggagas pelatihan
pengajaran sastra yang baik untuk guru-guru (melalui program kantor). Aku juga
senantiasa mendukung jika ada yang mempelajari sastra yang hubungannya dengan pengajaran
untuk anak-anak, pengelolaan buku-buku yang sesuai untuk anak-anak, uhhh, ini
menarik.
Sejak kuliah S1, aku sudah tertarik dengan psikolinguistik.
Aku membaca satu buku pengantar yang ditulis oleh Prof. Soenjono Darmowidjojo
(semoga ejaannya benar) lalu aku sangat tertarik. Sayangnya, aku tak menemukan
buku lain tentang psikolinguistik. Ada satu lagi yang ditulis beliau juga
tentang penelitiannya pada cucunya sendiri. Tetap saja belum memuaskan.
Sayangnya, di S1, psikolinguistik tidak diajarkan. Untuk itu, aku harus
mengejarnya di S2, bukan? Sama sekali bukan alasan (meneruskan kuliah) yang
idealis dan visioner, wkwkwk.
Psikolinguistik ini sangat menarik. Topik yang sangat luas
dan menurutku lebih menyenangkan jika aku hanya belajar tentang bidang ini saja
(catatan: kuliah S2 itu bagaikan dicekokin air 7 galon dari 7 sumur di 7 benua
yang berbeda tiap hari, lelah, kak, pokoknya). Ya sudahlah, kita ikutin maunya
penyusun kurikulum.
Kemampuan manusia berbahasa membuat manusia menjadi makhluk
yang lebih tinggi dibandingkan makhluk lain. Aktivitas berbahasa tidak hanya
saat kita berkomunikasi, tetapi juga untuk belajar dan berpikir. Jika kamu
membatin sesuatu, pasti kamu berbicara dengan diri sendiri. Berpikir juga
begitu. Belajar juga. Saat kita mendengarkan orang berbicara dengan bahasa
asing, otak kita akan menerjemahkan dulu ke bahasa yang lebih kita kuasai.
Jadi, bahasa memang suatu bidang amat menarik.
Psikolinguistik memahami bagaimana manusia memproses bahasa
di dalam otaknya. Jika bidang linguistik lain biasanya berkutat pada
bukti-bukti linguistik yang tampak, psikolinguistik melihat proses yang
sesungguhnya tidak dapat diobservasi secara langsung. Yang sudah aku pelajari
di pertemuan pertama kuliah ialah tentang adanya mental lexicon.
Mental lexicon ialah
semacam kamus yang ada di otak manusia. Tiap manusia memiliki daftar kosakata
di otaknya dan ketika ia berbicara atau berpikir, otaknya akan berproses dan
segera mencarikan kata-kata yang tepat dengan sususan tertentu. Saat kita
berusaha memahami tuturan manusia, otak kita juga akan membuka “kamus” itu agar
kita dapat memahami suatu tuturan. Pertanyaannya ialah bagaimana “kamus” itu
terbentuk, apa yang kita “setorkan” padanya hingga ia terbentuk sedemikian
rupa, bagaimana “kamus” itu tersusun, apa afiks melekat pada kosakata atau “kamus”
itu terdiri atas kosakata dasar, bagaimana kita bisa mengakses kata-kata dalam “kamus”
itu dengan sangat cepat dalam hitungan sepersekian milidetik, dsb.
Itu pertanyaan-pertanyaan yang “kurang kerjaan”, bukan?
Hahaha. Itu baru tentang mental lexicon, masih
banyak hal yang belum kupelajari. Ini sangat menarik dan penting. Salah satu
manfaatnya, jika kita mengerti cara kerja otak kita berbahasa, kita bisa
mereplikanya pada cara kerja komputer. Selain itu, kita bisa lebih berempati
pada orang-orang yang sedang belajar berbahasa dan juga orang-orang yang “gagal”
berbahasa.
Orang-orang yang “gagal” berbahasa? Apa itu? Aku tidak tahu
apa istilah itu tepat, bahasa Inggrisnya language
impairment. Orang yang masuk golongan ini contohnya penderita autisme, disleksia,
atau misalnya orang yang kecelakaan atau terkena penyakit yang merusak bagian
otak yang memproses bahasa. Penderita autisme adalah manusia yang jujur. Ia
tidak mengerti pragmatik dan bahasa figuratif (misal, metafora). Katakan pada
mereka, “panas, ya” untuk permintaan halus yang berarti “tolong, buka jendela”
tidak mungkin dimengerti oleh mereka. Katakan, “kau telah mencuri hatiku”. Dia
akan menganggap kamu adalah seorang pembohong karena hati tidak bisa dicuri
sementara yang mengatakannya masih hidup dan perutnya baik-baik saja. Coba
bayangkan bagaimana mereka bisa berkomunikasi dengan manusia yang sangat
manipulatif dan penuh kebohongan?
Penderita disleksia sulit membaca huruf. Di otaknya,
huruf-huruf itu berjalan-jalan dan jungkir balik. Jadi, kalau ada anak sulit
membaca jangan terus dimarahi, coba diselidiki, mungkin dia disleksia.
Ada macam-macam kegagalan berbahasa. Ada orang yang mampu
mengerti apa yang orang lain bicarakan, tetapi ketika ia memproduksi ujaran, ia
memilih kata-kata yang tidak semestinya sesuai yang ingin ia katakan.
Orang-orang yang baru pulih setelah stroke lalu sulit bicara, coba bayangkan
bagaimana perasaannya. Dokter dan kebanyakan dari kita hanya melihat sakit
secara fisik. Selama fisiknya baik-baik saja, ia sehat, ya sudah. Padahal,
kemampuan berkomunikasi sangat penting, terutama untuk kesehatan jiwa. Coba
bayangkan kalau kita tidak mampu mengomunikasikan apa yang kita mau. Ga enak,
ya? Tidak bisa mengutarakan cinta? Uh, pasti pedih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar